Sabtu, 16 Mei 2009

Samurai Sejati 18 - Branding, Framing, Reframing

Menanggapi respons "berfikir tanpa terikat", tampaknya mengarah kepada "branding", promosi/ kampanye dan ter/mengecoh. Juga mindset dan paradigma.

Topik-topik ini bisa berlaku pada kita yang bertujuan promosi, persuasi; tapi juga sebaliknya, untuk waspada saat orang lain membujuk kita.

Musashi, sang samurai sejati mengajarkan agar kita senantiasa obyektif, jernih, tidak terkecoh, termasuk oleh praduga sendiri.

Mengenai "branding", teknis lengkapnya di buku pemasaran tentu lebih lengkap. Label yang kita pasang secara konsisten, ditampilkan eksplisit berulang-ulang bisa jadi teknik praktis. Saya pengalaman menyampaikan PEL (pengembangan ekonomi lokal) dan "cluster" menerus selama hampir empat tahun. Hasilnya orang mengenal saya sebagai Ahli PEL atau Mr. Cluster. Padahal secara akademis saya regional planner. Ini menguntungkan, tapi saat saya harus berperan sebagai konsultan manajemen pelayanan, label ahli PEL saya sulit dilupakan orang. Sehingga meskipun saya penulis module manajemen pelayanan publik, teman-teman masih menganggap tugas saya mengurusi PEL saja.

Sebagai obyek, kebanyakan kita kecewa dengan kenyataan dibalik kampanye atau promosi. Pertama, karena kita terjebak harapan kita sendiri. Umumnya kaum intelek (non politik) melihat tokoh dan tema kampanyenya dari frame "etika", penegakan kebenaran. Tapi, politikus menganggap politik sebagai "taktik/strategi" menang semata. Visi, misinya bisa benar bisa setengah benar, atau buatan konsultannya saja. Skornya bisa 0-100 persen.
Kita mudah terkecoh karena harapan kita sendiri. Biasanya karena kecewa, lalu "asal bukan dia" jadi alasan.
Untuk kampanye, promo atau persuasi, psikologi audiens yang dimanfaatkan adalah motivasi "harapan" dan "kekuatiran/ ketakutan."
Iklan kosmetik manfaatkan "harapan" bisa secantik bintang film. Iklan obat manfaatkan "kekuatiran" akan penyakit. Promosi module kita, bisa memainkan keduanya.
Formulanya: "Takuti - Solusi - Tindakan (yang harus audiens lakukan)". Sekarang musim DBD, lalu sodori temuan obat baru, lalu silahkan/tunjukkan merek dan cara belinya.
Atau lewat harapan, "Kebutuhan (sadarkan audiens) - Solusi (tawaran kita) - Tindakan". Aduh bahagianya punya anak sehat, rahasianya gizi lengkap, itu ada di "Milk 123", tunjukkan dimana belinya.

Keterbatasan audiens, konsumen, publik: mereka cnderung gampangan. Kalau jualan kita rumit, mereka akan mengabaikan. Mereka cenderung dikotomis: ya/tidak, hitam/putih, kalah/menang, kawan/lawan. Sementara realita, dagangan kita tentu ada "diantara"nya. Persoalannya bagaimana kita "memaketkan" nya (packaging) agar produk atau solusi yang kita tawarkan "jelas" bagi mereka.
Audiens atau publik juga butuh sesuatu yang tangible, bisa dilihat, dihitung, bahkan diraba (dirasakan). Menjelaskan konsep sehat, cantik, pandai tentu lebih mudah dengan menampilkan gambar bayi gemuk, bintang terkenal, profesor ternama.
Lalu, endorsemen juga penting, karena konsumen/publik kan belum pernah merasakan sebelumnya (kecuali kampanye incumbent), maka testimoni tokoh, rekomendasi instansi berotoritas juga penting.

Kesimpulannya: kita punya banyak ilmu, kalau boleh GR. Tapi belum kita paketi dalam modul-modul, nama-nama yang mudah difahami, yang dekat dengan kebutuhan audiens/ konsumen.
Kita sebagai konsumen gak mau tau bagaimana wartawan kehujanan, kepanasan, bagaimana proses editing dan penerbitannya. Kita cuma peduli, langganan murah, dibacanya "enak dan perlu".
Jadi yang perlu kita tonjolkan, Apa Manfaat Bagi Konsumen (AMBAK). Dipaketi dengan langkah yang jelas terukur (7 Langkah), diberi nama yang menarik dan mudah (SIAP, PERFORM, BUILT, SENADA, AMARTA). Pemda umumnya sudah dihujani produk-produk dengan singkatan berawalan "P", kalau kita tambahi akan mudah dilupakan.
Musashi memberi nama modulnya "5 Lingkaran" dengan tahapan bab: Tanah, Air, Angin, Api, dan Kehampaan. (Risfan Munir, Cengkareng-Medan, Mei '09).

Samurai Sejati 17 - Berfikir Tanpa Terikat

Ini masih terkait "think out of the box".
Alkisah seorang guru samurai sambil mengangkat sebuah tongkat sambil bertanya, "Apakah ini?" Sejenak muridnya ragu menjwab. Sang guru melanjutkan, "Jika kau sebut ini tongkat, pikiranmu "terlekat". Jika kau menyebutnya bukan tongkat berarti kamu "mengabaikan". Jadi menurutmu ini apa?"
Ini kata mutiara yang sulit dicerna. Tapi pesannya jelas agar sang samurai tidak terjebak "kotak" pikirannya sendiri, dalam menilai situasi dan lawan.
Sekali memberi "nama" atau predikat pada suatu benda, orang atau situasi, maka pandangan kita sudah kurang obyektif. Karena nama membawa konotasi. Kalau menyebutnya tongkat, maka segera muncul dugaan sebagai alat pemukul, dst. Sementara kalau menyebutnya kayu, bisa menduga itu bahan bangunan, kayu bakar.
Contoh aktual ialah saat SBY mengumumkan nama Boediono sebagai Cawapresnya. Reaksi berbagai kalangan secara sepontan: Kok orang Jawa juga? Agamanya apa? Jangan-jangan penganut neoliberal?
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena mereka merenspons atas dasar "frame" pikiran masing-masing, dan "labeling" atas latar belakang masa lalu sang cawapres. Sebagian besar lupa "fakta obyektif" bahwa Pak Boed pernah jadi Menteri Perencanaan Pembangunan, Menkeu, Gubernur BI, artinya petinggi senior yang tidak aneh-aneh amat.
"Kelekatan pikiran" ini juga menyangkut citra diri kita sendiri, atau pengalaman masa lalu/kini yang kita proyeksikan ke situasi masa depan yang mungkin beda.
Contohnya, ada seorang Bupati teladan, terpilih sebagai Bupati paling inovatif, transparan. Hasil kerjanya jadi good-practice yang dibicarakan dalam berbagai seminar. Karena suksesnya kemudian terpilih menjadi gubernur.
Rupanya jurus suksesnya dia bawa ke tingkat provinsi juga. Di situlah persoalannya. Kewenangan gubernur beda dengan bupati, begitu pula situasi lingkungannya. Lebih runyam lagi, dia bawa manajernya "bedol desa" ke provinsi. Mereka sama-sama membawa paradigma kabupaten ke lingkungaan kerja yang berbeda. Akibatnya, di provinsi kinerja mereka tak seoptimal di kabupaten. Sementara kabupaten yang ditinggalkan mereka kinerjanya juga menurun.
Citra diri (branding?), identifikasi diri penting supaya orang lain mudah mengenali kita, dan kita sendiri punya kemantapan mau jadi apa, mau kemana. Tapi harus hati-hati pula agar tak terjebak olehnya, sehingga salah merespon peluang dan situasi yang ada. Karena sejarah bisa berulang, tapi tak pernah persis sama. (Risfan Munir, Cengkareng-Bekasi, Mei '09)

Senin, 11 Mei 2009

Samurai Sejati 16 - Think Out of The Box

Musashi tak percaya pada kamae (kuda-kuda atau posisi tertentu saat akan bertarung), yang biasa dilakukan petarung samurai (karate atau lain). Dia memilih mengambil posisi awal yang tidak baku, tapi berbeda-beda (kreasi sendiri) tergantung situasi dan lawan. Dia selalu memilih berfikir "out of the box", tidak itu-itu saja.

Ini memang didasari latar belakangnya yang otodidak. Berbeda dengan prajurit samurai yang umumnya belajar dari dojo, atau sekolah. Karena miskin, dia belajar samurai sendiri.

Berkelahi dengan cara konvensional, menurut dia berarti cari mati. Lawan akan segera membaca arah gerakannya.

Kemenangannya dalam 60 duels antara usia 13 hingga 30 tahun membuktikan keunggulan strateginya. Dia lebih menekankan pada pengenalan lawan, pengenalan medan pertempuran, dan menyiapkan strategi yang sesuai. Dari pada sibuk menghafal jurus-jurus konvensional. Petarung yang sibuk menghapal jurus sebelum bertarung, menurut dia seperti "berkonsentrasi pada mekarnya bunga, tapi lupa memetik buahnya."

Pelajaran yang dapat ditarik. Meskipun kita berangkat dari ilmu sekolah, teori dan konsep baku, tapi - dalam hidup atau bekerja - perlulah fokus pada tujuan, pada klien. Kata Bob Sadino, kualitas itu tidak ditentukan oleh indikator ilmiah, akademis (semata), tapi justru oleh penerimaan klien.

Betapa sering kita menertawakan klien, audien, karena menurut kita "bodoh", menyimpang dari asumsi kita, persepsi kita yang kaya teori. Tapi jangan lupa, tujuan kita adalah menang atas klien. Merebut hati audiens. Agar mereka membeli atau menyerap ilmu yang kita tawarkan. Agar mereka menjadi lebih baik, berubah. Begitukah? Sekali lagi: "think out of the box", jangan terjebak ilusi atau asumsi sendiri atas situasi yang akan dihadapi. (Risfan Munir, Simpang Lima, Semarang)

Kamis, 07 Mei 2009

Samurai Sejati 15 - Combat Ready

Samurai 15 – Combat Ready

 

Samurai sejati seperti dicontohkan Musashi selalu berlatih, mengasah dan memelihara kemahiran berpedangnya. Seorang samurai muda melakukan latihan hingga enam jam perhari, semakin senior nerangsur mengurangi kadar latihannya. Namun mereka tak pernah berhenti melatih keterampilannya, seklipun dia sudah jadi pejabat, bahkan jadi Shogun (raja/panglima) sekalipun. Ini dilakukan karena "kalah mahir berarti mati."

 

Ini bisa dibandingkan dengan para artis misalnya yang juga mengandalkan kemahiran yang nyata. Contohnya, Madonna, J. Lo, Shakira, Britney Spear (kalau kurang berkenan silahkan cari contoh lain lho, misal Vena Melinda), dibalik ke-glamour-annya mereka adalah professional yang serius, betul-betul berlatih 6-8 jam sehari.

 

Kalau boleh introspeksi, ini beda dengan profesional kerah putih (konsultan misalnya), yang kadang setelah lulus sekolah kurang mau melatih keterampilan utama yang jadi kompetensi mereka, kurang suka membaca, kurang suka mencoba-coba metode baru. Waktu habis oleh pekerjaan kantor yang itu-itu saja, yang templatenya sudah dibuat lima tahun lalu, seperti CD diputar ulang terus. Ini tentu bahaya bagi "hidup"nya kalau harus duel dengan generasi lebih muda yang penguasaan teknik dan teknologinya lebih canggih.

 

Menjadi professional pada masa pancaroba seperti saat ini, seorang profesional perlu menyiapkan diri selalu.Hati-hati terhadap kenyamanan tempat kerja yang melelapkan. Seperti Musashi, teknik berpedang yang selama ini dikuasai dilatih-ulang hingga kian mahir. Sementara itu simulasi barbagai situasi juga selalu dicobanya. Tujuannya ialah agar siap untuk situasi "yang tak diharapkan (unexpected situation)."  Dengan kata lain, menyiapkan diri selalu dalam kondisi COMBAT READY (siap tempur) menghadapi peluang kerja apapun. (Risfan Munir, Grha Cakra, Malang).

 

 


Selasa, 05 Mei 2009

Samurai Sejati 14 - Inovasi atau Mati

Dalam dunia penuh persaingan saat ini, inovasi untuk menciptakan atau negerjakan lebih baik, lebih cepat takterhindarkan.
Kabar baiknya ternyata inovasi tidk harus lahir dari para jenius atau perusahaan besar. Lahirnya Facebook, Yahoo, Google justru dari anak muda, mahasiswa yang belum tamat kuliahnya.
Musashi pertama kali dikenal sebagai pendekar samurai di usia 13 tahun. Itu diperoleh sebagai hasil self-learning dan selft-motivation. Dia belajar teknik samurai tanpa guru, di selalu bisa memotivasi dirinya untuk terus belajar dan memperbaiki permainan pedangnya, karena sadar tanpa itu dia akan "kalah atau mati".
Kehebatan permainan pedang Musashi yang unik, sulit diduga lawan, terbentuk dari mental, fisik, kecerdasan dan spirit disipin diri yang tak terkalahkan pula. Ini bisa dibandingkan dengan Rudy Hartono, yang pada masanya bisa jadi juara bulu tangkis All England, padahal tidak masuk TC nasional. Dia belajar sendiri dengan disiplin.
Keunggulan perusahaan Jepang kebanyakan juga tercipta dari inovasi-inovasi yang diciptakan oleh karyawan biasa. Mereka diberi peluang untuk mengusulkan "perbaikan" produk atau cara memproduksi yang lebih efisien dan lebih baik. Matsushita Electric pernah naik pamornya karena berhasil menciptakan mesin pembuat roti otimatis yang dinamakan "home bakery". Itu dikembangkan dari ide ibu Tanaka, seorang pekerja biasa.
Semangat "menjadi terbaik" menjadi prinsip organisasi Jepang. Maka tak heran jika teknologi Jepang senantiasa berkembang pesat, sulit ditandingi bangsa lain. Melalui self- motivation, self-learning, disiplin tinggi dan penghargaan pada "ide perbaikan" walaupun dari pegawai biasa - telah merubah citra Jepang dari julukan "maneshita" (peniru) menjadi pemenang. (Risfan Munir, Sheraton Surabaya, Mei 09)

Senin, 04 Mei 2009

Samurai Sejati 13 - KAIZEN

Salah satu prinsip training samurai Musashi ialah konsep "hari ini harus lebih baik dari kemarin." Dan, tantangan ini dibiasakan jadi niat setiap pagi.
Prinsip tersebut dalam bahasa manajemen mutu ala Jepang disebut KAIZEN, artinya "continuous improvement."
Berbeda dengan konsep ahli ekonomi politik JA Schumpeter yang mengenalkan "constructive destruction", atau membongkar untuk membangun (secara kreatif), pendekatan ala samurai Musashi justru menekankan perbaikan terus-menerus secara berkelanjutan.
Memperbaiki diri (permainan pedang) dilakukan dalam kehidupan Musashi sepanjang hidupnya, tanpa mengingat usia. Menjadi pembelajar seumur hidup, begitu istilah sekarang. Dan, ini membudaya di masyarakat Jepang. Di sekolah, di tempat kerja, di masyarakat.
Kaizen atau hari ini lebih baik dari kemarin, besok lebih baik dari hari ini. Berarti ada upaya pembaruan terus menerus. Pembaruan meliputi pengembangan ide, kreativitas, produk lebih baik, termasuk cara hidup baru.
Masih ingat kita, radio atau tape recorder yang mesti dipanggul itu oleh Sony dirubah jadi walkman. Jam 'per' yang mesti diputar tiap hari diganti tenaga baterei seimut kancing. Semuanya itu membuat negara miskin sumber daya alam itu jadi unggul.
Mereka juga percaya "ide dua orang, lebih baik dari seorang", karena itu brain storming kaizen dipraktikkan. Setiap anggota tim, karyawan, diberi kesempatan urun rembug tentang "perbaikan, pembaruan" proses, desain, sekecil apapun ide mereka. Terbukti hasilnya mentakjubkan, betul-betul mengalahkan penemu awalnya. Ini terjadi pada bidang otomotif, elektronik, optik, dan sebagainya.
Sekali lagi, prinsipnya hanya disiplin melaksanakan KAIZEN, hari ini lebih baik dari kemarin. Maukah kita? (Risfan Munir, Tunjungan Plaza)

Sabtu, 02 Mei 2009

Samurai Sejati 12 -Budaya Malu

Menurut Ruth Benedict, dalam buku legendarisnya “Pedang Samurai dan Bunga Seruni”, tradisi masyarakat Jepang punya dasar budaya “rasa malu” yang kuat. Artinya mengutamakan penilaian masyarakat atas dirinya. Mereka sangat malu kalau “tidak mampu membalas budi.” Di dalam tradisi Samurai ada istilah junshi (mati mengikuti kematian tuan), ini berdasarkan pada “kebudayaan rasa malu”. Kisah mengenai junshi ini banyak ditemui, salah satu legendanya ialah peristiwa bunuh diri 47 ronin (samurai tak bertuan), mereka anak buah Asano Takumi Naganori. Mereka bunuh diri bersama di depan makam tuannya karena merasa tak sanggup hidup tanpa membalas budi baik tuannya. Jalan kematian dipilih supaya bisa mendampingi tuannya pada reinkarnasi nanti.

Dalam sejarah terjadi perubahan dari kekuasaan ke-shogun-an yang dipimpin oleh para samurai menjadi kekuasaan administratif. Wilayah samurai (han) diganti dengan menjadi wilayah administrasi (ken). Sementara itu para pemimpin samurai diberi kompensasi modal, yang kemudian mereka pakai untuk beralih kepada dunia industri. Para mantan pemimpin samurai itu mendirikan perusahaan-perusahaan dengan nama seperti wilayah (han) mereka dulu, seperti: Mitsui, Mitsubishi, Kanebo, Honda dan lainnya. Dan tradisi tanggung-jawab, kesetiaan yang berdasarkan “budaya malu” diatas berubah menjadi karoshi (mati karena kebanyakan kerja). Mereka malu kalau sampai gagal mengerjakan tanggung-jawabnya.

“Budaya malu” inilah yang layak dipertimbangkan, walau tak harus ber-junshi atau ber-karoshi. Ini berarti tanggung-jawab kepada publik. Malu karena tidak mampu memenuhi harapan publik. Atau harapan dari tempat kerjanya. Mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi. Tradisi luhur samurai sejati ini jelas kebalikan dari tradisi “korupsi”, yang mengorbankan kepentingan publik, demi kepentingan pribadi.(RM)