Tugas Satpam ialah menjaga dan memberi rasa aman pada penghuni area yang dijaganya. Dia akan menahan atau mengusir pengganggu kenyamanan penghuni.
Ternyata di otak kita ada yang berfungsi "menjaga kenyamanan" diri kita, yaitu yang disebut
amygdala. Sebagaimana Satpam, tugasnya menangkal dan melumpuhkan ide, informasi yang potensial "mengancam kenyamanan" diri kita. Saat tiba-tiba kita dikejutkan oleh benda jatuh, ada kendaraan mau menabrak kita, atau ancaman lainnya, amygdala "memerintahkan" pikiran dan tubuh kita untuk bereaksi sangat cepat dan mengesampingkan hal-hal lain, sebagai refleks mempertahankan diri. Cara kerjanya adalah "reaksi cepat", ini bagus tentu, tapi kelemahannya sering emosional, kurang berfikir panjang. Kelemahan ini yang sering merepotkan kita.
Rupanya
amygdala ini juga "menjaga" diri kita dari ide "perubahan " yang akan kita lakukan, yang potensial mengganggu zona kenyamanan (
comfort zone) kita. Mengapa upaya peningkatan kualitas atau pengembangan diri seperti niat berolah raga, menurunkan berat badan, meskipun pikiran rasional kita menyatakan itu sangat penting, tetapi nyatanya kita sulit melakukannya. Itu antara lain karena
amygdala menolak, karena dia spontan ingin "menyelamatkan" kita agar tetap dalam kenyamanan.
Ide perubahan seperti mengurangi berat badan dengan olah raga dan diet. Ide berhenti merokok. Ide menulis artikel, apalagi menulis buku, semuanya mengganggu "kenyamanan" diri kita. Biasa pagi baca koran sambil minum kopi kok harus olah raga. Biasa makan jerongan yang lezat, kok harus diet. Biasa menikmati sedapnya menghisap rokok, kok harus distop. Biasa santai kok harus mengerahkan pikiran untuk menulis. Maka amygdala bagaikan Satpam, bereaksi cepat mempertahan diri kita agar tidak usah melaksanakannya, agar nyaman dan tenteram.
Oleh karena itu, jika rasio kita mengendaki kita berubah, atau melakukan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi diri dan tujuan kita. Maka lakukanlah itu "tanpa membangunkan
amygdala". Caranya ialah bergerak tanpa menimbulkan "suara, kegaduhan", berjingkat, menyelinap bagaikan ninja, agar si Satpam tak terbangun.
Lakukanlah perubahan mulai dengan langkah-langkah kecil sederhana, sehingga "radar amygdala" tidak mendeteksinya, sehingga tak ada penolakan. Inilah prinsip dari "KAIZEN" alias
continuous process improvement, yaitu proses perbaikan berkelanjutan.
Saya sendiri sudah merasakan manfaatnya. Di rumah saya punya persoalan dengan tumpukan dokumen dan buku ada dimana-mana, di ruang kerja, di garasi, di gudang. Tumpukan kertas yang menurut saya "nanti ada manfaatnya." Saking berantakannya sehingga untuk menyortir dan merapikannya bayangan saya perlu waktu dan kerja ekstra. Jadi kalau diingatkan istri, saya selalu mengatakan,"nanti kalau libur panjang." Tapi bisa ditebak, kalau libur panjang, Lebaran dan Tahun Baru, pasti untuk santai atau bepergian. Jadilah tumpukan kertas itu makin menggunung.
Saya berfikirnya nanti saja sekalian kerja bakti besar-besaran. Dan, masalahnya ternyata bukan kerja fisiknya saja. Masalah membuang barang milik adalah masalah psikologis, "sayang dibuang, siapa tahu proyek berikutnya perlu, atau ada kenangannya." Sehingga penolakan bathin ini juga faktor besar. Walau tumpukan barang membuat rumah seperti gudang, dan omelan terus datang.
Akhirnya saya pilih menerapkan prinsip "KAIZEN" ini. Pelan pelan tumpukan demi tumpukan saya tangani. Walau kadang cuma "tega" membuang satu dua paper tak apa, kalau teganya memang baru segitu. Saya jaga agar tidak seperti "kerja bakti", tapi kegiatan rutin seperti merapikan meja sebelum dan setelah bekerja. Ternyata ini berjalan tanpa perlawanan berarti dari “Satpam
amygdala.” Setelah beberapa waktu, mulai tampak rak dan lemari jadi longgar. Ruang kerja jadi longgar, garasi dan gudang kelihatan dindingnya.
Bidang penerapan yang lain ialah olah raga. Bagi yang tidak hobi, anjuran pikiran untuk berolah raga itu selalu ada alasannya. Alasan paling klasik ialah tidak ada waktu. Apalagi bagi yang tinggal di wilayah Bodetabek, yang berangkat sebelum jam 6.00 pagi dan sampai di rumah paling cepat jam 18.00 malam. Tapi ternyata masih sempat nonton TV. Saran untuk gerak badan (tak usah disebut olah raga kalau ‘mengerikan’) di depan TV, mulai dari stretching, jalan di tempat, lari di tempat beberapa menit sambil tetap menikmati acara TV ternyata luamayan juga. Tanpa sadar sudah gerak badan 15 menit. Kalau ini bisa dikerjakan sungguh berbeda disbanding dengan beralasan tak oleh raga selama seminggu, sebulan, setahun sebelumnya. Seorang senior saya di kantor yang usianya di atas 60 tahun tapi masih menunjukkan kebugaran. Sungguh mengagumkan. Ketika ditanya apa olah raganya, ternyata jawabannya “lari-lari kecil di dalam rumah, atau di kamar hotel kalau sedang travelling.”
Saya sekarang sedang menerapkannya dalam meningkatkan volume minum air putih. Sekali lagi saya kapok gagah-gagahan, sehingga saya minum sedikit demi sedikit, tapi botol air mineral selalu ada di samping. Tanpa sadar 3-4 botol terminum juga tiap hari. Sekali lagi kuncinya adalah kaizen, perlahan agar “Satpam
amygdala” tidak sampai bangun, sehingga menciptakan alasan untuk menunda.
Kesimpulannya, "
think big, start small, act now." Biasanya kita gagah-gagahan pasang taget besar, tapi selalu ada alasan, "tunggu kalau ada waktu, ada uang, kalau yang lain juga siap." Nyatanya, comfort zone kita juga terlalu nyaman untuk ditinggalkan.
"
Change or die!" kata orang. Iya lah, tapi mulai pelan-pelan, jangan sampai Satpam amygdala di otak kita bereaksi. Kata ludruk Suroboyoan "
ojo nggugah asu turu," jangan bangunkan anjing tidur. Kalau
amygdale kita sadar, ada saja argument yang dibisikkan ke pikiran untuk tetap nyaman, tunggu waktu lah, uang lah, teman lah, nanti saja sekalian. Act now! Selamat mencoba. [rm]
*
Risfan Munir adalah penulis buku “
Jurus Menang dalam Karier dan Hidup ala Samurai Sejati.”(Gramedia Pustaka Utama, 2009) dan "
Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif" (LGSP, 2004, 2008). Kolumnis tetap pada www.AndaLuarBiasa.com.