Minggu, 07 April 2013

Jernihkan Persepsi

Persepsi, kesan kita akan suatu situasi kadang tidak sesuai dengan realita. Oleh karena itu perlu kesiapan bahwa "yang terjadi akan berbeda."
Pesan kepanduan, "ready for the best, prepare for the worst" selalu diperlukan. Dengan begitu kita siap dengan Plan B, bila diperlukan. (twit @masrisfan)



Jumat, 16 September 2011

Strategi Koalisi-Kompetisi (SKK)

SKK sptnya akan menggabungkan Musashi, Sun Tzu, dan ... Machiavelli (yg katanya menyesatkan, tapi dipakai semua penguasa ..)

‎​SKK-1 - "If you can't beat them, join them". Mungkin ini strategi dagang kita dgn china. Tak bisa melawan, ya kerjasama saja (CAFTA) ...

‎​SKK-2 berkoalisi untuk "meminjam kekuatan pihak luar". Waktu Kubilaikhan nyerang Singosari sudah bubar. R Wijaya (keturunan Singosari) memberi info palsu bhw Singosari pindah ke Kediri. Akhirnya dendam RWijaya ke Kediri tersampaikan. Dan trah Singosari membangun Majapahit

‎​Dgn kekuatan Kubilai khan (sebetulnya musuh, mau bls dendam ke pihak RWijaya), tp RWijaya bisa membelokkannya untuk nyerang Kediri. Dgn pinjam kekuatan lawan dia bangun Majapahit...

Strategi Koalisi/kompetisi (SKK-3) - waspadai "devide et impera". Strategi lawan paling klasik. Kompetisi antar saudara dipakai lawan untuk memecah belah ...
Putra mahkota mewarisi Kerajaan, Paman tdk rela. Sang paman kerjasama dgn "pihak asing" - itulah awal penjajahan ... (Takluk karena hutang budi pada kepentingan asing)

SKK-4 Waspadai "dilema narapidana" (prisoner dillema). Kadang komunitas spt 2 Napi, yg hrs milih. Kalau "semua gak ngaku" kemungkinan Bebas semua. Tapi kalo terbukti salah, keduanya kena 20th. Tapi kalo salah satu A/B ngaku, laporkan teman B/A, maka dia dihukum 1th, kawannya 20th. Maka masing2 A atau B dalam dilema: lapor atau tidak? Jangan2 temannya lapor maka drpd celaka aku lapor saja ....

Misalnya - ‎​klaster UKM di satu daerah, di-iming2i anggotanya satu demi satu "keuntungan besar sesaat", shg tak sabar dgn "manfaat bersama kelompok" ...., akhirnya persatuan rapuh. Bargaining position merosot (RM).



Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 24 Desember 2009

Samurai Sejati 23: Resolusi Tahun Baru 2010 ala AVATAR

Avatar adalah istilah dalam computer game yang menungkinkan kita memilih “peran” dari pilhan karakter yang ada dalam game tertentu. Dalam film yang diputar menutup tahun 2009 ini, Avatar digunakan sebagai permainan peran manusia dari dunia nyata ke dalam “dunia maya” suku asli Na’vi di pedalaman planet Pandora.

Dalam neuro linguistic programming (NLP), permainan imajinasi peran sebagai permainan/petualangan pikiran ini banyak digunakan. Manfaatnya antara lain adalah untuk menyelami apa yang terjadi dan kita hadapi dalam situasi lingkungan yang akan kita tuju. Misalnya kita ingin membayangkan bagaimana sitausi yang kita hadapi saat kita sukses. Kita disarankan untuk membayangkan dalam pikiran kita, misalnya saat wisuda. Bagaimana suasana ruangan, tepuk tangan hadirin, keceriaan wajah-wajah orang yang kita sayangi saat nama kita dipanggil sebagai sarjana, doktor, atau puncak prestasi lainnya. Ini manfaatnya adalah agar “pikiran bawah sadar” kita selalu mengarahkan segala kata, tindakan, pengambilan keputusan kita kepada kesuksesan yang kita idamkan dan kita visualisasikan dalam pikiran dengan indah itu.

Permainan peran dalam pikiran ala Avatar ini juga digunakan oleh pelatih olah ragawan, agar atlit membayangkan berbagai situasi yang dihadapi saat mereka dalam kepungan lawan, atau saat mereka melakukan lompat indah. Gunanya adalah agar para atlit selalu berlatih bahkan dalam pikiran dan psikologis, bagaimana reaksi saat mengahadapi situasi . Dalam dunia olah raga “latihan peran dalam pikiran” ala Avatar ini terbukti manfaatnya sangat efektif. Bahkan ada penelitian atas para atlit dengan membagi atas tiga kelompok: kelompok pertama tidak melakukan latihan, kelompok kedua melakukan latihan rutin, dan kelompok ketiga melakukan “latihan dalam pikiran” dalam kurun waktu yang sama. Ternyata hasil prestasi kelompok kedua dan ketiga tidak beda jauh. Artinya latihan dalam pikiran ini banyak membantu, sehingga disarankan agar para atlit yang sedang istirahat karena sakit atau dalam proses penyembuhan tetap ”berlatih” dengan membayangkan dalam pikiran, atau menonton video pertandingan.
Pelajaran tanpa sadar lain yang dapat kita peroleh dari film Avatar adalah kearifan hidup suku asli Na’vi yang hidup betul-betul selaras dengan alam lingkungannya. Manusia bisa berkomunikasi dan saling kerja sama dengan binatang bahkan tanaman, asal si manusia mau memahami, mengembangkan empathy dengan mereka. Tidak mendengar kata dan pikiran sendiri, tetapi mencoba menyelami “perasaan, pikiran” atau kebutuhan dan keinginan mereka. Bahkan dialog dengan Tuhan, sehingga bimbingannya selalu hadir saat dibutuhkan, bisa dilakukan kalau manusia berupaya memahami dan mengikuti kehendak-Nya. Ini kearifan komunikasi yang selalu disarankan dalam NLP, yang antara lain disebut sebagai Rapport (penyelarasan atau membangun harmoni) dengan mitra komunikasi.

Persuasi, penawaran suatu proposal, jasa atau barang hanya bias dilakukan kalau antara pihak yang menawarkan dan yang ditawari sudah dicapai keselarasan atau Rapport tersebut. Dalam buku saya, ”Jurus Menang dalam Karier dan Hidup ala Samurai Sejati” (Gramedia, November 2009) ada uraian yang menegaskan bahwa persuasi adalah kegiatan “mendengarkan dan memahami kebutuhan” orang lain. Bukan sebaliknya “mendesak” orang lain memenuhi kebutuhan kita.

Pelajaran ketiga dari Avatar ialah bahwa kekuatan jejaring (network) tali silaturahmi, tali sambung-rasa yang terjalin melalui empathy, keinginan untuk saling memahami, adalah kekuatan social yang tiada tara. Tali komunikasi antar manusia dan mahluk lain (tanaman, binatang) di sekitar, serta dengan Sang Pencipta, yang dipelihara terus, menghasilkan kekuatan yang mampu melawan keangkuhan dan kesombongan yang mengandalkan kedigdayaan modal dan perangkatnya. Baru-baru ini di tanah air kekuatan “jejaring sambung-rasa” ini dibuktikan dengan solidaritas social kepada “cicak sakti Bibit-Chandra” serta dalam kasus “Koin untuk Prita.”

Memanfaatkan tiga pelajaran di atas, mari kita ber-Avatar dan memilih “peran dalam pikiran” dan memainkannya dalam petualangan sesuai dengan cita dan tujuan kita dalam merancang resolusi akhir tahun. Pertama, rumuskan apa visi dan target kita. Kedua, bayangkan diri kita sudah sukses mencapainya (misal: punya rumah baru, mobil baru, dilantik, diwisuda, terbentuknya komunitas social, dst). Bagaimana bentuk nya, warnanya, suaranya, rasanya. Bagaimana situasi lingkungan kita menyambutnya, bayangkan ekspresi wajah orang yang kita cintai, sambutan dan pujian atasan, teman dan selanjutnya. Bebaskan imajinasi untuk menciptakan keriuhan warna-warni suka cita yang kita inginkan.

Ketiga, dalam imajinasi tersebut cobalah perlahan mundur ke belakang, perlahan kepada situasi dan waktu hari ini. Lihat apa-apa saja yang mesti kita capai tahap demi tahap mundur tersebut. Lihatlkah sebagai rangkaian target-target kecil yang bisa kita lakukan untuk mencapai cita-cita dalam imajinasi tersebut. Gunakan kekuatan imajinasi untuk menangkap ide-ide, inspirasi-inspirasi yang dapat digunakan untuk mencari langkah, strategi, taktik dan kreasi untuk meraihnya.

Jangan dilupakan juga untuk menyertakan social network dalam rancangan peta jalan (road-map) menuju sukses kita. Ini karena kita tidak bisa mencapai semuanya sendirian ala Lone Ranger. Potensi kita akan terdongkrat menjadi kekuatan luar biasa hanya dengan upaya kerja sama dengan orang lain, kenalan yang kita punyai. Kenalan akan mengenalkan kita kepada kenalan-kenalan lain, ala Avatar menciptakan sinergi “bersama kita bisa” atau Mestakung (semesta mendukung).

Keempat, kalau dalam berimajinasi ala Avatar tersebut Anda melakukannya dengan menutup mata atau setengahnya, maka perlahan bukalah mata Anda. Kemudian cobalah menuliskan visi, target dan kembngkan rencana tindakan atau langkah-langkah mencapainya target-target kecil tersebuit. Akhirnya, tentukan langkah “kecil dan sederhana” apa untuk bisa memulainya saat ini juga. Langkah kecil saja dulu, misalnya memasang foto apa yang kita idamkan dari majalah atau iklan (mobil, rumah, Ka’bah, anak yang riang, hubungan antar warga yang harmonis) sesuai yang kita citakan.
Itulah proses resolusi akhir tahun, untuk menegaskan dan menfokuskan langkah kita di tahun mendatang, dengan metode ala Avatar. Selamat Tahun Baru!

Risfan Munir, penulis buku ”Jurus Menang dalam Karier dan Hidup ala Samurai Sejati” (Gramedia, November 2009) dan kolumnis tetap pada Anda LuarBiasa.com.

Sabtu, 07 November 2009

Samurai Sejati 22 - Jangan Bangunkan Satpam!


Tugas Satpam ialah menjaga dan memberi rasa aman pada penghuni area yang dijaganya. Dia akan menahan atau mengusir pengganggu kenyamanan penghuni.

Ternyata di otak kita ada yang berfungsi "menjaga kenyamanan" diri kita, yaitu yang disebut amygdala. Sebagaimana Satpam, tugasnya menangkal dan melumpuhkan ide, informasi yang potensial "mengancam kenyamanan" diri kita. Saat tiba-tiba kita dikejutkan oleh benda jatuh, ada kendaraan mau menabrak kita, atau ancaman lainnya, amygdala "memerintahkan" pikiran dan tubuh kita untuk bereaksi sangat cepat dan mengesampingkan hal-hal lain, sebagai refleks mempertahankan diri. Cara kerjanya adalah "reaksi cepat", ini bagus tentu, tapi kelemahannya sering emosional, kurang berfikir panjang. Kelemahan ini yang sering merepotkan kita.

Rupanya amygdala ini juga "menjaga" diri kita dari ide "perubahan " yang akan kita lakukan, yang potensial mengganggu zona kenyamanan (comfort zone) kita. Mengapa upaya peningkatan kualitas atau pengembangan diri seperti niat berolah raga, menurunkan berat badan, meskipun pikiran rasional kita menyatakan itu sangat penting, tetapi nyatanya kita sulit melakukannya. Itu antara lain karena amygdala menolak, karena dia spontan ingin "menyelamatkan" kita agar tetap dalam kenyamanan.

Ide perubahan seperti mengurangi berat badan dengan olah raga dan diet. Ide berhenti merokok. Ide menulis artikel, apalagi menulis buku, semuanya mengganggu "kenyamanan" diri kita. Biasa pagi baca koran sambil minum kopi kok harus olah raga. Biasa makan jerongan yang lezat, kok harus diet. Biasa menikmati sedapnya menghisap rokok, kok harus distop. Biasa santai kok harus mengerahkan pikiran untuk menulis. Maka amygdala bagaikan Satpam, bereaksi cepat mempertahan diri kita agar tidak usah melaksanakannya, agar nyaman dan tenteram.

Oleh karena itu, jika rasio kita mengendaki kita berubah, atau melakukan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi diri dan tujuan kita. Maka lakukanlah itu "tanpa membangunkan amygdala". Caranya ialah bergerak tanpa menimbulkan "suara, kegaduhan", berjingkat, menyelinap bagaikan ninja, agar si Satpam tak terbangun.

Lakukanlah perubahan mulai dengan langkah-langkah kecil sederhana, sehingga "radar amygdala" tidak mendeteksinya, sehingga tak ada penolakan. Inilah prinsip dari "KAIZEN" alias continuous process improvement, yaitu proses perbaikan berkelanjutan.

Saya sendiri sudah merasakan manfaatnya. Di rumah saya punya persoalan dengan tumpukan dokumen dan buku ada dimana-mana, di ruang kerja, di garasi, di gudang. Tumpukan kertas yang menurut saya "nanti ada manfaatnya." Saking berantakannya sehingga untuk menyortir dan merapikannya bayangan saya perlu waktu dan kerja ekstra. Jadi kalau diingatkan istri, saya selalu mengatakan,"nanti kalau libur panjang." Tapi bisa ditebak, kalau libur panjang, Lebaran dan Tahun Baru, pasti untuk santai atau bepergian. Jadilah tumpukan kertas itu makin menggunung.

Saya berfikirnya nanti saja sekalian kerja bakti besar-besaran. Dan, masalahnya ternyata bukan kerja fisiknya saja. Masalah membuang barang milik adalah masalah psikologis, "sayang dibuang, siapa tahu proyek berikutnya perlu, atau ada kenangannya." Sehingga penolakan bathin ini juga faktor besar. Walau tumpukan barang membuat rumah seperti gudang, dan omelan terus datang.

Akhirnya saya pilih menerapkan prinsip "KAIZEN" ini. Pelan pelan tumpukan demi tumpukan saya tangani. Walau kadang cuma "tega" membuang satu dua paper tak apa, kalau teganya memang baru segitu. Saya jaga agar tidak seperti "kerja bakti", tapi kegiatan rutin seperti merapikan meja sebelum dan setelah bekerja. Ternyata ini berjalan tanpa perlawanan berarti dari “Satpam amygdala.” Setelah beberapa waktu, mulai tampak rak dan lemari jadi longgar. Ruang kerja jadi longgar, garasi dan gudang kelihatan dindingnya.

Bidang penerapan yang lain ialah olah raga. Bagi yang tidak hobi, anjuran pikiran untuk berolah raga itu selalu ada alasannya. Alasan paling klasik ialah tidak ada waktu. Apalagi bagi yang tinggal di wilayah Bodetabek, yang berangkat sebelum jam 6.00 pagi dan sampai di rumah paling cepat jam 18.00 malam. Tapi ternyata masih sempat nonton TV. Saran untuk gerak badan (tak usah disebut olah raga kalau ‘mengerikan’) di depan TV, mulai dari stretching, jalan di tempat, lari di tempat beberapa menit sambil tetap menikmati acara TV ternyata luamayan juga. Tanpa sadar sudah gerak badan 15 menit. Kalau ini bisa dikerjakan sungguh berbeda disbanding dengan beralasan tak oleh raga selama seminggu, sebulan, setahun sebelumnya. Seorang senior saya di kantor yang usianya di atas 60 tahun tapi masih menunjukkan kebugaran. Sungguh mengagumkan. Ketika ditanya apa olah raganya, ternyata jawabannya “lari-lari kecil di dalam rumah, atau di kamar hotel kalau sedang travelling.”

Saya sekarang sedang menerapkannya dalam meningkatkan volume minum air putih. Sekali lagi saya kapok gagah-gagahan, sehingga saya minum sedikit demi sedikit, tapi botol air mineral selalu ada di samping. Tanpa sadar 3-4 botol terminum juga tiap hari. Sekali lagi kuncinya adalah kaizen, perlahan agar “Satpam amygdala” tidak sampai bangun, sehingga menciptakan alasan untuk menunda.

Kesimpulannya, "think big, start small, act now." Biasanya kita gagah-gagahan pasang taget besar, tapi selalu ada alasan, "tunggu kalau ada waktu, ada uang, kalau yang lain juga siap." Nyatanya, comfort zone kita juga terlalu nyaman untuk ditinggalkan.

"Change or die!" kata orang. Iya lah, tapi mulai pelan-pelan, jangan sampai Satpam amygdala di otak kita bereaksi. Kata ludruk Suroboyoan "ojo nggugah asu turu," jangan bangunkan anjing tidur. Kalau amygdale kita sadar, ada saja argument yang dibisikkan ke pikiran untuk tetap nyaman, tunggu waktu lah, uang lah, teman lah, nanti saja sekalian. Act now! Selamat mencoba. [rm]

* Risfan Munir adalah penulis buku “Jurus Menang dalam Karier dan Hidup ala Samurai Sejati.”(Gramedia Pustaka Utama, 2009) dan "Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif" (LGSP, 2004, 2008). Kolumnis tetap pada www.AndaLuarBiasa.com.

Samurai Sejati 21 - Surrogate

Surrogate” adalah judul film terbaru Bruce Willis. Film ini mengajak kita untuk berpetualang melihat dua dunia. Dimana manusia sudah begitu tidak percaya diri untuk tampil sebagai manusia biasa, sehingga mereka beli surrogate alias "robot pengganti." Dengan banyaknya robot pengganti yang postur tubuhnya betul-betul mirip pemiliknya itu, maka yang tampil ke masyarakat dan berinteraksi adalah robot-robot itu. Sementara "diri aslinya" terbaring pada dipan atau kursi pengendali di rumah masing-masing.

Setelah terlarut mengikuti alur film itu, dalam batas tertentu kok saya mengaitkannya dengan masyarakat kita yang perilaku keseharian di masyarakatnya juga mirip metafora masyarakat Surrogate tersebut. Kita semua tanpa sadar menjadi mirip robot-robot yang 'lebih indah dari aslinya' itu. Masyarakat di perkotaan kita banyak yang bersikap dan berdandan artifisial dengan senyum dan kata-kata yang distandarisasi oleh buku etiket, berpakaian menurut standar pabrik yang mendiktekan model. Mimik wajah, pakaian dan tindakan yang kita lihat sudah semakin artifisial dan nyaris mengikuti standar gaya dan merek yang didiktekan melalui iklan tiap saat. Kehidupan menjadi arena dan panggung sandiwara saja. Sementara masing-masing individu aslinya yang orisinil, manusiasi, tersembunyi di dalam kamar-kamar dalam rumah-rumah yang jarang dibuka. Mereka jarang bisa ditemui. karena lebih memilih menyembunyikan diri.

Dalam hal ini mungkin berlaku pesan pujangga Ronggowarsito "seuntung-untungnya orang yang lupa, masih lebih beruntung orang yang waras." Dapat ditebak di film Surrogate yang waras adalah lakonnya Greer (Bruce Willis) si agen FBI dan Pencipta robot-robot itu. Mereka berdualah yang hidup di "dunia sejati", yang melihat "dunia robot" sebagai panggung sandiwara atau olok-olok saja, yang cerita dan perannya bisa dirubah-rubah tiap saat.

Sementara itu di masyarakat juga telah timbul kelompok pemberontak yang dipimpin oleh seorang “Nabi” kharismatis yang muak dengan “kehidupan surrogate” yang serba palsu yang dikendalikan oleh konglomerat produsen robot/surrogate itu. Kelompok ini melakukan demo dan rekrutmen pada event-event dan tempat-tempat tertentu yang strategis untuk berencana melakukan makar, sabotase dan lainnya. Kisah menjadi sedikit rumit setelah Sang Nabi ternyata begitu kuat, menguasai teknologi perusak surrogate, dan punya sumber dana yang mantap pula.

Sebagai seorang detektif situasi Greer sesungguhnya dilematis. Di satu sisi dia menggunakan robot/surrogate sebagai perangkat, tapi dia juga ingin kehidupan asli bersama istrinya (yang lebih suka tampil sebagai robot). Sementara itu tugasnya adalah mengawasi Sang Nabi, pemberontak yang anti konglomerat pencipta –robot-robot itu. Sehingga hati kecilnya sebetulnya setuju dengan misi kelompok nabi pemberontak itu.

Begitulah kisahnya yang kian rumit setelah Greer tahu bahwa ternyata Sang Nabi itu sesungguhnya juga sebuah robot yang merupakan wajah lain atau surrogate dari Sang Konglomerat sendiri. Jadi rupanya tokoh pemberontak itu sesungguhnya adalah Sang Konglomerat sendiri. Inilah puncak sandiwaranya.

Selanjutnya mungkin kita akan menghubung-hubungkannya dengan realitas di masyarakat kita. Jangan-jangan yang selama ini kita anggap musuh penguasa dan masyarakat, ternyata adalah ….. Tetapi pesan yang dapat diambil pelajaran ialah “jangan terlalu cepat menilai dari apa yang tampak diluar,” karena dibalik itu realitanya bisa kebalikannya.

Sekali lagi, sang Samurai Sejati Musashi mengingatkan pentingnya membebaskan pikiran dari cengkeraman berbagai bingkai (frame atau reframe) yang dibuat oleh para pengiklan, juru kampanye di berbagai media, ataupun yang lewat obrolan tetangga. Sebagaimana pesan TVRI tempo dulu, “teliti sebelum membeli.” Uji setiap iklan, kampanye, opini dari siapapun yang berpotensi mempengaruhi keputusan kita, dengan fakta yang ada, konfrontasikan dengan opini yang berlawanan, bertanyalah pada hati kecil sendiri,”Apakah yang ditawarkan itu memang kebutuhan riil kita?”


* Risfan Munir adalah penulis buku “Jurus Menang dalam Karier dan Hidup ala Samurai Sejati.”(Gramedia Pustaka Utama, 2009) dan "Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif" (Perform-LGSP, 2004, 2008). Kolumnis tetap pada www.AndaLuarBiasa.com.

Senin, 08 Juni 2009

Samurai Sejati 20 - Menjadi Musuhmu

"Menjadi Lawanmu, berarti berpikir seolah tubuhmu menjadi tubuh lawan. Kalau kamu amati, orang cenderung berfikir bahwa seseorang yang melakukan perampokan dan berhasil menyembunyikan diri atau menghilang sebagai lawan yang kuat. Padahal ia sebenarnya berpikir bahwa seluruh dunia memusuhinya dan tak ada jalan untuk melarikan diri" demikian kata Musashi. Karena itu milikilah keyakinan teguh bahwa kau akan mengalahkannya, lanjutnya.

Pesan yang jelas, baik dalam menghadapi lawan, maupun menghadapi audience yang perlu "dikalahkan" perhatiannya. Sebagai fasilitator atau trainer, seringkali kita harus berhadapan dengan audience yang status kedudukan dan pendidikan formalnya di atas kita. Wajar kalau ada grogy, tapi dengan kesadran bahwa mereka datang ke forum memang didorong oleh suatu kebutuhan, dan kita bisa memfasilitasinya, maka kita selayaknya percaya diri.

Contoh mudahnya adalah pelatih tenis, umumnya pemuda biasa yang bekerja di klub, sedng yang dilatih adalah para manajer menengah ke atas. Dia tidak canggung, karena yakin meskipun orang-orang itu tinggi jabatan dan pendidikannya, nyatanya butuh petunjuknya dalam bermain tenis. Tentu contoh lain adalah caddy lapangan golf, yang tak jarang juga mengajari bos yang didampinginya, tapi....(silahkan pahami pikiran nya).

Sering kita berasumsi bahwa atasan, manajer, direktur, pemimpin kita adalah orang yang serba tahu, kuat, stabil jiwanya, berani, mumpuni. Pendidikan dan frame masyarakat mengajarkan demikian. Tapi nyatanya, pemimpin juga manusia. Seperti kita sebagai pemimpin lingkungan sendiri punya kekuatiran, tidak serba bisa. Atasan dan pemimpin kita juga begitu. Bayangkan diri kita di posisi dia. Apa yang dikuatirkan, yang terasa sebagai kelemahan. Lalu sampaikan usulan, jangan cuma menunggu. Hanya caranya mesti hati-hati, karena namanya atasan biasanya "ja-im" (jaga image). Ini bisa diatasi pakai teknik bertanya, "what if", bagaimana kalau...? Kalau kita berhasil disini, ini artinya kita yang didukung pimpinan.

Pada situasi lain, memahami lawan ini juga bisa diartikan sebagai "memahami lawan bicara." Betapa sering komunikasi tidak berjalan, karena kedua pihak tidak berusaha menempatkan diri pada sisi lawan bicaranya. Tak ada empathy. Masing-masing ingin berlomba menyatakan pendapat dan unek-uneknya, tanpa upaya mendengar. Ini fenomena umum di masyarakat, di sekitar, dan di antara kita sendiri, terutama saya. Pahamilah lawan, demikian pesan tersirat Musashi (Risfan Munir, Siantar - Tebingtinggi)

Senin, 18 Mei 2009

Samurai Sejati 19 Branding, Labelling

Musashi dan para bushido (sebutan untuk samurai) mengajarkan "kejernihan" pikiran, agar tetap obyektif menilai situasi, dan tidak terkecok oleh tipu daya atau provokasi lawan.
Pada masa kini kita tiap hari dibanjiri informasi, peraturan, metode, tools, dst. Kalau kita sulit memilih dan menyerap informasi. Maka demikian juga audiens atau klien kita. Sehingga branding, packaging, dan pelabelan nama atas produk diperlukan. Agar klien dan audiens kita terpikat, ingat, "beli", dan menerapkannya.

Produk planning, manajemen pembangunan, manajemen pelayanan, kebijakan publik, sudah saling komplementer dan jadi "hujan informasi" bagi klien kita. Hanya dengan petunjuk packaging yang pas, sesuai kebutuhan (demand) dan selera klien, itu akan ditangkap dan di"beli" oleh mereka.

Ini ibarat makanan. Di seluruh dunia mayoritas manusia makan: karbohidrat, protein, vitamin, mineral. Bahanya juga itu-itu saja: padi, gandum, jagung, sayur, biji-bijian, daging, susu, ikan. Rasanya juga paduan: manis, pahit, asam, asin.
Namun dengan komposisi tertentu, nama masakannya di dunia ini bisa jutaan. Soal kuah saja ada soup, soto, rawon, kare, opor, gule, goulas, timlo, baso kuah, dst.
Nama-nama menu makanan itu adalah "label" paling tua, yang membuat asosiasi asosiasi budaya, tradisi dan selera bagi penikmatnya. Kita bisa sangat suka pada "soto" tapi benci pada "sup" tertentu. Padahal ingredients nya bisa (hampir)sama.
Lebih jauh lagi ditambah dengan "branding". Kita bisa suka Soto Lamongan, tapi tidak suka Soto Ambengan. Padahal sama-sama soto. Apanya yang beda.
Sebagai planner atau ahli manajemen pelayanan, kita tahu strategic planning (misalnya). Menurut pelajaran sekolah dan literatur kan ya itu-itu saja, baik arti, tahapan proses, alat-alat nya (SWOT, Analisis Gap, Prioritisasinya, dst). Tapi rasanya sudah belasan kali paket strategic planning itu muncul dengan "nama" dan "bumbu" dan otorisasi instansi yang berbeda. Adalah perbedaan masing-masing. Tapi beda itu kan seperti beda pizza "american favorite" vs "super-supreme" vs "meat-lover" dst. Alias topping nya saja beda.
Tentu saja dari masa ke masa ada penyempurnaan dari "strategic planning" sesuai situasi dan kondisi lingkungan. Sekarang harus lebih partisipatif, berbasis kinerja, otonomi daerah. Tapi hakikatnya kan masih sama.

Kesimpulannya:
Pertama, sebagai konsumen sebaiknya kita berfikir obyektif, ingat hakekat, kebutuhan generik kita apa. Jangan sampai kita pilih lokasi rumah (dihuni jangka panjang) dengan pertimbangan ada "undian blakberry"nya.
Kedua, sebaliknya sebagai "penjual" jasa, kita harus bisa membuat paket dan nama produk yang menjawab harapan, kebutuhan, keinginan dan solusi atas masalah/ kekuatiran klien. Dengan nama yang keren, gaya, canggih, tapi tahapannya gampang, harganya jelas, masuk plafon anggaran.
Jadi gunakan pengetahuan branding, labelling. Tapi juga untuk bisa bebas dari bujukan iklan yang mengungkit "keinginan, hasrat" kita yang tak perlu.
(Risfan Munir, Medan, Mei'09).