“Surrogate” adalah judul film terbaru Bruce Willis. Film ini mengajak kita untuk berpetualang melihat dua dunia. Dimana manusia sudah begitu tidak percaya diri untuk tampil sebagai manusia biasa, sehingga mereka beli surrogate alias "robot pengganti." Dengan banyaknya robot pengganti yang postur tubuhnya betul-betul mirip pemiliknya itu, maka yang tampil ke masyarakat dan berinteraksi adalah robot-robot itu. Sementara "diri aslinya" terbaring pada dipan atau kursi pengendali di rumah masing-masing.
Setelah terlarut mengikuti alur film itu, dalam batas tertentu kok saya mengaitkannya dengan masyarakat kita yang perilaku keseharian di masyarakatnya juga mirip metafora masyarakat Surrogate tersebut. Kita semua tanpa sadar menjadi mirip robot-robot yang 'lebih indah dari aslinya' itu. Masyarakat di perkotaan kita banyak yang bersikap dan berdandan artifisial dengan senyum dan kata-kata yang distandarisasi oleh buku etiket, berpakaian menurut standar pabrik yang mendiktekan model. Mimik wajah, pakaian dan tindakan yang kita lihat sudah semakin artifisial dan nyaris mengikuti standar gaya dan merek yang didiktekan melalui iklan tiap saat. Kehidupan menjadi arena dan panggung sandiwara saja. Sementara masing-masing individu aslinya yang orisinil, manusiasi, tersembunyi di dalam kamar-kamar dalam rumah-rumah yang jarang dibuka. Mereka jarang bisa ditemui. karena lebih memilih menyembunyikan diri.
Dalam hal ini mungkin berlaku pesan pujangga Ronggowarsito "seuntung-untungnya orang yang lupa, masih lebih beruntung orang yang waras." Dapat ditebak di film Surrogate yang waras adalah lakonnya Greer (Bruce Willis) si agen FBI dan Pencipta robot-robot itu. Mereka berdualah yang hidup di "dunia sejati", yang melihat "dunia robot" sebagai panggung sandiwara atau olok-olok saja, yang cerita dan perannya bisa dirubah-rubah tiap saat.
Sementara itu di masyarakat juga telah timbul kelompok pemberontak yang dipimpin oleh seorang “Nabi” kharismatis yang muak dengan “kehidupan surrogate” yang serba palsu yang dikendalikan oleh konglomerat produsen robot/surrogate itu. Kelompok ini melakukan demo dan rekrutmen pada event-event dan tempat-tempat tertentu yang strategis untuk berencana melakukan makar, sabotase dan lainnya. Kisah menjadi sedikit rumit setelah Sang Nabi ternyata begitu kuat, menguasai teknologi perusak surrogate, dan punya sumber dana yang mantap pula.
Sebagai seorang detektif situasi Greer sesungguhnya dilematis. Di satu sisi dia menggunakan robot/surrogate sebagai perangkat, tapi dia juga ingin kehidupan asli bersama istrinya (yang lebih suka tampil sebagai robot). Sementara itu tugasnya adalah mengawasi Sang Nabi, pemberontak yang anti konglomerat pencipta –robot-robot itu. Sehingga hati kecilnya sebetulnya setuju dengan misi kelompok nabi pemberontak itu.
Begitulah kisahnya yang kian rumit setelah Greer tahu bahwa ternyata Sang Nabi itu sesungguhnya juga sebuah robot yang merupakan wajah lain atau surrogate dari Sang Konglomerat sendiri. Jadi rupanya tokoh pemberontak itu sesungguhnya adalah Sang Konglomerat sendiri. Inilah puncak sandiwaranya.
Selanjutnya mungkin kita akan menghubung-hubungkannya dengan realitas di masyarakat kita. Jangan-jangan yang selama ini kita anggap musuh penguasa dan masyarakat, ternyata adalah ….. Tetapi pesan yang dapat diambil pelajaran ialah “jangan terlalu cepat menilai dari apa yang tampak diluar,” karena dibalik itu realitanya bisa kebalikannya.
Sekali lagi, sang Samurai Sejati Musashi mengingatkan pentingnya membebaskan pikiran dari cengkeraman berbagai bingkai (frame atau reframe) yang dibuat oleh para pengiklan, juru kampanye di berbagai media, ataupun yang lewat obrolan tetangga. Sebagaimana pesan TVRI tempo dulu, “teliti sebelum membeli.” Uji setiap iklan, kampanye, opini dari siapapun yang berpotensi mempengaruhi keputusan kita, dengan fakta yang ada, konfrontasikan dengan opini yang berlawanan, bertanyalah pada hati kecil sendiri,”Apakah yang ditawarkan itu memang kebutuhan riil kita?”
* Risfan Munir adalah penulis buku “Jurus Menang dalam Karier dan Hidup ala Samurai Sejati.”(Gramedia Pustaka Utama, 2009) dan "Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif" (Perform-LGSP, 2004, 2008). Kolumnis tetap pada www.AndaLuarBiasa.com.
SOAR Merespons Banjir Jabotabek
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar