Senin, 18 Mei 2009

Samurai Sejati 19 Branding, Labelling

Musashi dan para bushido (sebutan untuk samurai) mengajarkan "kejernihan" pikiran, agar tetap obyektif menilai situasi, dan tidak terkecok oleh tipu daya atau provokasi lawan.
Pada masa kini kita tiap hari dibanjiri informasi, peraturan, metode, tools, dst. Kalau kita sulit memilih dan menyerap informasi. Maka demikian juga audiens atau klien kita. Sehingga branding, packaging, dan pelabelan nama atas produk diperlukan. Agar klien dan audiens kita terpikat, ingat, "beli", dan menerapkannya.

Produk planning, manajemen pembangunan, manajemen pelayanan, kebijakan publik, sudah saling komplementer dan jadi "hujan informasi" bagi klien kita. Hanya dengan petunjuk packaging yang pas, sesuai kebutuhan (demand) dan selera klien, itu akan ditangkap dan di"beli" oleh mereka.

Ini ibarat makanan. Di seluruh dunia mayoritas manusia makan: karbohidrat, protein, vitamin, mineral. Bahanya juga itu-itu saja: padi, gandum, jagung, sayur, biji-bijian, daging, susu, ikan. Rasanya juga paduan: manis, pahit, asam, asin.
Namun dengan komposisi tertentu, nama masakannya di dunia ini bisa jutaan. Soal kuah saja ada soup, soto, rawon, kare, opor, gule, goulas, timlo, baso kuah, dst.
Nama-nama menu makanan itu adalah "label" paling tua, yang membuat asosiasi asosiasi budaya, tradisi dan selera bagi penikmatnya. Kita bisa sangat suka pada "soto" tapi benci pada "sup" tertentu. Padahal ingredients nya bisa (hampir)sama.
Lebih jauh lagi ditambah dengan "branding". Kita bisa suka Soto Lamongan, tapi tidak suka Soto Ambengan. Padahal sama-sama soto. Apanya yang beda.
Sebagai planner atau ahli manajemen pelayanan, kita tahu strategic planning (misalnya). Menurut pelajaran sekolah dan literatur kan ya itu-itu saja, baik arti, tahapan proses, alat-alat nya (SWOT, Analisis Gap, Prioritisasinya, dst). Tapi rasanya sudah belasan kali paket strategic planning itu muncul dengan "nama" dan "bumbu" dan otorisasi instansi yang berbeda. Adalah perbedaan masing-masing. Tapi beda itu kan seperti beda pizza "american favorite" vs "super-supreme" vs "meat-lover" dst. Alias topping nya saja beda.
Tentu saja dari masa ke masa ada penyempurnaan dari "strategic planning" sesuai situasi dan kondisi lingkungan. Sekarang harus lebih partisipatif, berbasis kinerja, otonomi daerah. Tapi hakikatnya kan masih sama.

Kesimpulannya:
Pertama, sebagai konsumen sebaiknya kita berfikir obyektif, ingat hakekat, kebutuhan generik kita apa. Jangan sampai kita pilih lokasi rumah (dihuni jangka panjang) dengan pertimbangan ada "undian blakberry"nya.
Kedua, sebaliknya sebagai "penjual" jasa, kita harus bisa membuat paket dan nama produk yang menjawab harapan, kebutuhan, keinginan dan solusi atas masalah/ kekuatiran klien. Dengan nama yang keren, gaya, canggih, tapi tahapannya gampang, harganya jelas, masuk plafon anggaran.
Jadi gunakan pengetahuan branding, labelling. Tapi juga untuk bisa bebas dari bujukan iklan yang mengungkit "keinginan, hasrat" kita yang tak perlu.
(Risfan Munir, Medan, Mei'09).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar