Menurut Ruth Benedict, dalam buku legendarisnya “Pedang Samurai dan Bunga Seruni”, tradisi masyarakat Jepang punya dasar budaya “rasa malu” yang kuat. Artinya mengutamakan penilaian masyarakat atas dirinya. Mereka sangat malu kalau “tidak mampu membalas budi.” Di dalam tradisi Samurai ada istilah junshi (mati mengikuti kematian tuan), ini berdasarkan pada “kebudayaan rasa malu”. Kisah mengenai junshi ini banyak ditemui, salah satu legendanya ialah peristiwa bunuh diri 47 ronin (samurai tak bertuan), mereka anak buah Asano Takumi Naganori. Mereka bunuh diri bersama di depan makam tuannya karena merasa tak sanggup hidup tanpa membalas budi baik tuannya. Jalan kematian dipilih supaya bisa mendampingi tuannya pada reinkarnasi nanti.
Dalam sejarah terjadi perubahan dari kekuasaan ke-shogun-an yang dipimpin oleh para samurai menjadi kekuasaan administratif. Wilayah samurai (han) diganti dengan menjadi wilayah administrasi (ken). Sementara itu para pemimpin samurai diberi kompensasi modal, yang kemudian mereka pakai untuk beralih kepada dunia industri. Para mantan pemimpin samurai itu mendirikan perusahaan-perusahaan dengan nama seperti wilayah (han) mereka dulu, seperti: Mitsui, Mitsubishi, Kanebo, Honda dan lainnya. Dan tradisi tanggung-jawab, kesetiaan yang berdasarkan “budaya malu” diatas berubah menjadi karoshi (mati karena kebanyakan kerja). Mereka malu kalau sampai gagal mengerjakan tanggung-jawabnya.
“Budaya malu” inilah yang layak dipertimbangkan, walau tak harus ber-junshi atau ber-karoshi. Ini berarti tanggung-jawab kepada publik. Malu karena tidak mampu memenuhi harapan publik. Atau harapan dari tempat kerjanya. Mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi. Tradisi luhur samurai sejati ini jelas kebalikan dari tradisi “korupsi”, yang mengorbankan kepentingan publik, demi kepentingan pribadi.(RM)
SOAR Merespons Banjir Jabotabek
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar