Jawaban untuk Pak Topo:
Pak Topo, tergantung di level mana kita bicara: filosofis atau praktis?
Secara filosofis, norma keterbukaan fasilitator itu yang diperkenalkan dan dijunjung, baik di dunia governance ataupun manajemen.Lalu pada tataran praktis: Facilpulatif (?) - ini seperti "facilitraining". Saya biasanya menjelaskannya sebagai spektrum atau pelangi. Realita ada di antara "facilitasi penuh s/d memberi petunjuk". Tergantung siapa audience, materi yang mau disampaikan, waktu yang tersedia. Mengajarkan program Excel, accounting, cara instruksional mungkin lebih efisien, efektif. Tapi ngajar proses pengambilan keputusan, lebih baik partisipatif.
Andragogi (pendidikan bagi orang dewasa) berdasar asumsi audiens sudah punya bekal dan dewasa. Tapi dalam kasus Excel mereka mungkin memang dari "nol". Juga perilaku mereka mungkin (kata Gus Dur) seperti "taman kanak-kanak."Dengan demokrasi ala Pemilu, asumsinya rakyat milih caleg terbaik di antara mereka. Tapi nyatanya masyarakat masih feodal, malah milih atribut lama (keturunan raja/pejabat, raden, tengku, andi dst, jendral, kolonel, juga artis), kalau rakyat biasa, tetangganya nyalon malah dihina-hina.
Dalam dunia manajemen. Saya pikir secara akademis selalu berkembang, dari management by objective (MBO) hingga yang berkembang saat ini, management by process menerobos sekat-sekat batas fungsional). Tapi di dunia praktis, semua konsep itu masih hidup. Contohnya PP41, dinas-dinas yang sudah digabung sesuai prose, dipreteli, dipecah-pecah, disekat-sekat. Bisa dibilang ini kemunduran, menjadi kurang efisien-efektif bagi yang sudah melakukan penyederhanaan jumlah dinas. Jadi nambah dinas lagi. Semua dikerjakan tanpa alasan jelas, kecuali perintah dari PP41. Agak ironis sesungguhnya di era otonomi daerah ini.Dalam dunia praktek, semua jurus, lama dan baru dapat digunakan, yang penting tujuannya "menang".Secara tak sengaja menggunakan metafora samurai (Musashi) menarik buat saya, karena sang pendekar menulis sendiri "guideline" samurainya, yaitu (terjemahan Englishnya) "The Books of Five Rings" sesuai isinya 5 bab. (mungkin dia pakai pancasila, sedang SIAP pakai prinsip obat sakit kepala Bintang Toejoeh).h Isinya uraian prinsip dan instruksi latihan. Tapi pesan akhir bab-nya selalu: praktik, praktik, praktik.
Terakhir, betul Pak Topo, di dunia governance/ public yang kita geluti, persaingan tidak dimunculkan, dan dianggap tabu. Paling ada lomba, award, seperti Adipura, Kalpataru, pelayanan prima, dst. Walau antar individu, unit, nyatanya ada "perebutan" besar anggaran. Apalagi pimpinan puncak (bupati/walikota) kan dipilih rakyat, ya mesti bersaing (citra).Tapi di dunia bisnis, persaingan adalah natural. Bukan karena serakah. Tapi kalau nggak waspada, merk lain akan merebut pasar kita. Pertemuan dunia publik (pemda) dengan dunia bisnis ini krusial. Sementara UMKM dituntut bersaing dengan produk China, dinas pembina industi kecil bukannya membantu tapi menertibkan, bikin ijin-ijin sebagai obyek PAD, dengan alasan "membina" iklim usaha dan daya saing.
Bagaimana cara meningkatkan produktivitas? Jawabannya: apel pagi, kejuaraan voli antar unit, plus rapat-rapat panitianya. Supaya sehat dan sportif. Sementara UMKM harus nunggu ijinnya keluar. Apalagi usaha besar, yang katanya serakah itu, "kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah." Wassalam. [Risfan Munir, Jakarta, April 2009]
SOAR Merespons Banjir Jabotabek
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar