Menanggapi respons "berfikir tanpa terikat", tampaknya mengarah kepada "branding", promosi/ kampanye dan ter/mengecoh. Juga mindset dan paradigma.
Topik-topik ini bisa berlaku pada kita yang bertujuan promosi, persuasi; tapi juga sebaliknya, untuk waspada saat orang lain membujuk kita.
Musashi, sang samurai sejati mengajarkan agar kita senantiasa obyektif, jernih, tidak terkecoh, termasuk oleh praduga sendiri.
Mengenai "branding", teknis lengkapnya di buku pemasaran tentu lebih lengkap. Label yang kita pasang secara konsisten, ditampilkan eksplisit berulang-ulang bisa jadi teknik praktis. Saya pengalaman menyampaikan PEL (pengembangan ekonomi lokal) dan "cluster" menerus selama hampir empat tahun. Hasilnya orang mengenal saya sebagai Ahli PEL atau Mr. Cluster. Padahal secara akademis saya regional planner. Ini menguntungkan, tapi saat saya harus berperan sebagai konsultan manajemen pelayanan, label ahli PEL saya sulit dilupakan orang. Sehingga meskipun saya penulis module manajemen pelayanan publik, teman-teman masih menganggap tugas saya mengurusi PEL saja.
Sebagai obyek, kebanyakan kita kecewa dengan kenyataan dibalik kampanye atau promosi. Pertama, karena kita terjebak harapan kita sendiri. Umumnya kaum intelek (non politik) melihat tokoh dan tema kampanyenya dari frame "etika", penegakan kebenaran. Tapi, politikus menganggap politik sebagai "taktik/strategi" menang semata. Visi, misinya bisa benar bisa setengah benar, atau buatan konsultannya saja. Skornya bisa 0-100 persen.
Kita mudah terkecoh karena harapan kita sendiri. Biasanya karena kecewa, lalu "asal bukan dia" jadi alasan.
Untuk kampanye, promo atau persuasi, psikologi audiens yang dimanfaatkan adalah motivasi "harapan" dan "kekuatiran/ ketakutan."
Iklan kosmetik manfaatkan "harapan" bisa secantik bintang film. Iklan obat manfaatkan "kekuatiran" akan penyakit. Promosi module kita, bisa memainkan keduanya.
Formulanya: "Takuti - Solusi - Tindakan (yang harus audiens lakukan)". Sekarang musim DBD, lalu sodori temuan obat baru, lalu silahkan/tunjukkan merek dan cara belinya.
Atau lewat harapan, "Kebutuhan (sadarkan audiens) - Solusi (tawaran kita) - Tindakan". Aduh bahagianya punya anak sehat, rahasianya gizi lengkap, itu ada di "Milk 123", tunjukkan dimana belinya.
Keterbatasan audiens, konsumen, publik: mereka cnderung gampangan. Kalau jualan kita rumit, mereka akan mengabaikan. Mereka cenderung dikotomis: ya/tidak, hitam/putih, kalah/menang, kawan/lawan. Sementara realita, dagangan kita tentu ada "diantara"nya. Persoalannya bagaimana kita "memaketkan" nya (packaging) agar produk atau solusi yang kita tawarkan "jelas" bagi mereka.
Audiens atau publik juga butuh sesuatu yang tangible, bisa dilihat, dihitung, bahkan diraba (dirasakan). Menjelaskan konsep sehat, cantik, pandai tentu lebih mudah dengan menampilkan gambar bayi gemuk, bintang terkenal, profesor ternama.
Lalu, endorsemen juga penting, karena konsumen/publik kan belum pernah merasakan sebelumnya (kecuali kampanye incumbent), maka testimoni tokoh, rekomendasi instansi berotoritas juga penting.
Kesimpulannya: kita punya banyak ilmu, kalau boleh GR. Tapi belum kita paketi dalam modul-modul, nama-nama yang mudah difahami, yang dekat dengan kebutuhan audiens/ konsumen.
Kita sebagai konsumen gak mau tau bagaimana wartawan kehujanan, kepanasan, bagaimana proses editing dan penerbitannya. Kita cuma peduli, langganan murah, dibacanya "enak dan perlu".
Jadi yang perlu kita tonjolkan, Apa Manfaat Bagi Konsumen (AMBAK). Dipaketi dengan langkah yang jelas terukur (7 Langkah), diberi nama yang menarik dan mudah (SIAP, PERFORM, BUILT, SENADA, AMARTA). Pemda umumnya sudah dihujani produk-produk dengan singkatan berawalan "P", kalau kita tambahi akan mudah dilupakan.
Musashi memberi nama modulnya "5 Lingkaran" dengan tahapan bab: Tanah, Air, Angin, Api, dan Kehampaan. (Risfan Munir, Cengkareng-Medan, Mei '09).
SOAR Merespons Banjir Jabotabek
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar