Musashi tak percaya pada kamae (kuda-kuda atau posisi tertentu saat akan bertarung), yang biasa dilakukan petarung samurai (karate atau lain). Dia memilih mengambil posisi awal yang tidak baku, tapi berbeda-beda (kreasi sendiri) tergantung situasi dan lawan. Dia selalu memilih berfikir "out of the box", tidak itu-itu saja.
Ini memang didasari latar belakangnya yang otodidak. Berbeda dengan prajurit samurai yang umumnya belajar dari dojo, atau sekolah. Karena miskin, dia belajar samurai sendiri.
Berkelahi dengan cara konvensional, menurut dia berarti cari mati. Lawan akan segera membaca arah gerakannya.
Kemenangannya dalam 60 duels antara usia 13 hingga 30 tahun membuktikan keunggulan strateginya. Dia lebih menekankan pada pengenalan lawan, pengenalan medan pertempuran, dan menyiapkan strategi yang sesuai. Dari pada sibuk menghafal jurus-jurus konvensional. Petarung yang sibuk menghapal jurus sebelum bertarung, menurut dia seperti "berkonsentrasi pada mekarnya bunga, tapi lupa memetik buahnya."
Pelajaran yang dapat ditarik. Meskipun kita berangkat dari ilmu sekolah, teori dan konsep baku, tapi - dalam hidup atau bekerja - perlulah fokus pada tujuan, pada klien. Kata Bob Sadino, kualitas itu tidak ditentukan oleh indikator ilmiah, akademis (semata), tapi justru oleh penerimaan klien.
Betapa sering kita menertawakan klien, audien, karena menurut kita "bodoh", menyimpang dari asumsi kita, persepsi kita yang kaya teori. Tapi jangan lupa, tujuan kita adalah menang atas klien. Merebut hati audiens. Agar mereka membeli atau menyerap ilmu yang kita tawarkan. Agar mereka menjadi lebih baik, berubah. Begitukah? Sekali lagi: "think out of the box", jangan terjebak ilusi atau asumsi sendiri atas situasi yang akan dihadapi. (Risfan Munir, Simpang Lima, Semarang)
SOAR Merespons Banjir Jabotabek
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar