Sabtu, 16 Mei 2009

Samurai Sejati 17 - Berfikir Tanpa Terikat

Ini masih terkait "think out of the box".
Alkisah seorang guru samurai sambil mengangkat sebuah tongkat sambil bertanya, "Apakah ini?" Sejenak muridnya ragu menjwab. Sang guru melanjutkan, "Jika kau sebut ini tongkat, pikiranmu "terlekat". Jika kau menyebutnya bukan tongkat berarti kamu "mengabaikan". Jadi menurutmu ini apa?"
Ini kata mutiara yang sulit dicerna. Tapi pesannya jelas agar sang samurai tidak terjebak "kotak" pikirannya sendiri, dalam menilai situasi dan lawan.
Sekali memberi "nama" atau predikat pada suatu benda, orang atau situasi, maka pandangan kita sudah kurang obyektif. Karena nama membawa konotasi. Kalau menyebutnya tongkat, maka segera muncul dugaan sebagai alat pemukul, dst. Sementara kalau menyebutnya kayu, bisa menduga itu bahan bangunan, kayu bakar.
Contoh aktual ialah saat SBY mengumumkan nama Boediono sebagai Cawapresnya. Reaksi berbagai kalangan secara sepontan: Kok orang Jawa juga? Agamanya apa? Jangan-jangan penganut neoliberal?
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena mereka merenspons atas dasar "frame" pikiran masing-masing, dan "labeling" atas latar belakang masa lalu sang cawapres. Sebagian besar lupa "fakta obyektif" bahwa Pak Boed pernah jadi Menteri Perencanaan Pembangunan, Menkeu, Gubernur BI, artinya petinggi senior yang tidak aneh-aneh amat.
"Kelekatan pikiran" ini juga menyangkut citra diri kita sendiri, atau pengalaman masa lalu/kini yang kita proyeksikan ke situasi masa depan yang mungkin beda.
Contohnya, ada seorang Bupati teladan, terpilih sebagai Bupati paling inovatif, transparan. Hasil kerjanya jadi good-practice yang dibicarakan dalam berbagai seminar. Karena suksesnya kemudian terpilih menjadi gubernur.
Rupanya jurus suksesnya dia bawa ke tingkat provinsi juga. Di situlah persoalannya. Kewenangan gubernur beda dengan bupati, begitu pula situasi lingkungannya. Lebih runyam lagi, dia bawa manajernya "bedol desa" ke provinsi. Mereka sama-sama membawa paradigma kabupaten ke lingkungaan kerja yang berbeda. Akibatnya, di provinsi kinerja mereka tak seoptimal di kabupaten. Sementara kabupaten yang ditinggalkan mereka kinerjanya juga menurun.
Citra diri (branding?), identifikasi diri penting supaya orang lain mudah mengenali kita, dan kita sendiri punya kemantapan mau jadi apa, mau kemana. Tapi harus hati-hati pula agar tak terjebak olehnya, sehingga salah merespon peluang dan situasi yang ada. Karena sejarah bisa berulang, tapi tak pernah persis sama. (Risfan Munir, Cengkareng-Bekasi, Mei '09)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar