Senin, 18 Mei 2009
Samurai Sejati 19 Branding, Labelling
Pada masa kini kita tiap hari dibanjiri informasi, peraturan, metode, tools, dst. Kalau kita sulit memilih dan menyerap informasi. Maka demikian juga audiens atau klien kita. Sehingga branding, packaging, dan pelabelan nama atas produk diperlukan. Agar klien dan audiens kita terpikat, ingat, "beli", dan menerapkannya.
Produk planning, manajemen pembangunan, manajemen pelayanan, kebijakan publik, sudah saling komplementer dan jadi "hujan informasi" bagi klien kita. Hanya dengan petunjuk packaging yang pas, sesuai kebutuhan (demand) dan selera klien, itu akan ditangkap dan di"beli" oleh mereka.
Ini ibarat makanan. Di seluruh dunia mayoritas manusia makan: karbohidrat, protein, vitamin, mineral. Bahanya juga itu-itu saja: padi, gandum, jagung, sayur, biji-bijian, daging, susu, ikan. Rasanya juga paduan: manis, pahit, asam, asin.
Namun dengan komposisi tertentu, nama masakannya di dunia ini bisa jutaan. Soal kuah saja ada soup, soto, rawon, kare, opor, gule, goulas, timlo, baso kuah, dst.
Nama-nama menu makanan itu adalah "label" paling tua, yang membuat asosiasi asosiasi budaya, tradisi dan selera bagi penikmatnya. Kita bisa sangat suka pada "soto" tapi benci pada "sup" tertentu. Padahal ingredients nya bisa (hampir)sama.
Lebih jauh lagi ditambah dengan "branding". Kita bisa suka Soto Lamongan, tapi tidak suka Soto Ambengan. Padahal sama-sama soto. Apanya yang beda.
Sebagai planner atau ahli manajemen pelayanan, kita tahu strategic planning (misalnya). Menurut pelajaran sekolah dan literatur kan ya itu-itu saja, baik arti, tahapan proses, alat-alat nya (SWOT, Analisis Gap, Prioritisasinya, dst). Tapi rasanya sudah belasan kali paket strategic planning itu muncul dengan "nama" dan "bumbu" dan otorisasi instansi yang berbeda. Adalah perbedaan masing-masing. Tapi beda itu kan seperti beda pizza "american favorite" vs "super-supreme" vs "meat-lover" dst. Alias topping nya saja beda.
Tentu saja dari masa ke masa ada penyempurnaan dari "strategic planning" sesuai situasi dan kondisi lingkungan. Sekarang harus lebih partisipatif, berbasis kinerja, otonomi daerah. Tapi hakikatnya kan masih sama.
Kesimpulannya:
Pertama, sebagai konsumen sebaiknya kita berfikir obyektif, ingat hakekat, kebutuhan generik kita apa. Jangan sampai kita pilih lokasi rumah (dihuni jangka panjang) dengan pertimbangan ada "undian blakberry"nya.
Kedua, sebaliknya sebagai "penjual" jasa, kita harus bisa membuat paket dan nama produk yang menjawab harapan, kebutuhan, keinginan dan solusi atas masalah/ kekuatiran klien. Dengan nama yang keren, gaya, canggih, tapi tahapannya gampang, harganya jelas, masuk plafon anggaran.
Jadi gunakan pengetahuan branding, labelling. Tapi juga untuk bisa bebas dari bujukan iklan yang mengungkit "keinginan, hasrat" kita yang tak perlu.
(Risfan Munir, Medan, Mei'09).
Sabtu, 16 Mei 2009
Samurai Sejati 18 - Branding, Framing, Reframing
Topik-topik ini bisa berlaku pada kita yang bertujuan promosi, persuasi; tapi juga sebaliknya, untuk waspada saat orang lain membujuk kita.
Musashi, sang samurai sejati mengajarkan agar kita senantiasa obyektif, jernih, tidak terkecoh, termasuk oleh praduga sendiri.
Mengenai "branding", teknis lengkapnya di buku pemasaran tentu lebih lengkap. Label yang kita pasang secara konsisten, ditampilkan eksplisit berulang-ulang bisa jadi teknik praktis. Saya pengalaman menyampaikan PEL (pengembangan ekonomi lokal) dan "cluster" menerus selama hampir empat tahun. Hasilnya orang mengenal saya sebagai Ahli PEL atau Mr. Cluster. Padahal secara akademis saya regional planner. Ini menguntungkan, tapi saat saya harus berperan sebagai konsultan manajemen pelayanan, label ahli PEL saya sulit dilupakan orang. Sehingga meskipun saya penulis module manajemen pelayanan publik, teman-teman masih menganggap tugas saya mengurusi PEL saja.
Sebagai obyek, kebanyakan kita kecewa dengan kenyataan dibalik kampanye atau promosi. Pertama, karena kita terjebak harapan kita sendiri. Umumnya kaum intelek (non politik) melihat tokoh dan tema kampanyenya dari frame "etika", penegakan kebenaran. Tapi, politikus menganggap politik sebagai "taktik/strategi" menang semata. Visi, misinya bisa benar bisa setengah benar, atau buatan konsultannya saja. Skornya bisa 0-100 persen.
Kita mudah terkecoh karena harapan kita sendiri. Biasanya karena kecewa, lalu "asal bukan dia" jadi alasan.
Untuk kampanye, promo atau persuasi, psikologi audiens yang dimanfaatkan adalah motivasi "harapan" dan "kekuatiran/ ketakutan."
Iklan kosmetik manfaatkan "harapan" bisa secantik bintang film. Iklan obat manfaatkan "kekuatiran" akan penyakit. Promosi module kita, bisa memainkan keduanya.
Formulanya: "Takuti - Solusi - Tindakan (yang harus audiens lakukan)". Sekarang musim DBD, lalu sodori temuan obat baru, lalu silahkan/tunjukkan merek dan cara belinya.
Atau lewat harapan, "Kebutuhan (sadarkan audiens) - Solusi (tawaran kita) - Tindakan". Aduh bahagianya punya anak sehat, rahasianya gizi lengkap, itu ada di "Milk 123", tunjukkan dimana belinya.
Keterbatasan audiens, konsumen, publik: mereka cnderung gampangan. Kalau jualan kita rumit, mereka akan mengabaikan. Mereka cenderung dikotomis: ya/tidak, hitam/putih, kalah/menang, kawan/lawan. Sementara realita, dagangan kita tentu ada "diantara"nya. Persoalannya bagaimana kita "memaketkan" nya (packaging) agar produk atau solusi yang kita tawarkan "jelas" bagi mereka.
Audiens atau publik juga butuh sesuatu yang tangible, bisa dilihat, dihitung, bahkan diraba (dirasakan). Menjelaskan konsep sehat, cantik, pandai tentu lebih mudah dengan menampilkan gambar bayi gemuk, bintang terkenal, profesor ternama.
Lalu, endorsemen juga penting, karena konsumen/publik kan belum pernah merasakan sebelumnya (kecuali kampanye incumbent), maka testimoni tokoh, rekomendasi instansi berotoritas juga penting.
Kesimpulannya: kita punya banyak ilmu, kalau boleh GR. Tapi belum kita paketi dalam modul-modul, nama-nama yang mudah difahami, yang dekat dengan kebutuhan audiens/ konsumen.
Kita sebagai konsumen gak mau tau bagaimana wartawan kehujanan, kepanasan, bagaimana proses editing dan penerbitannya. Kita cuma peduli, langganan murah, dibacanya "enak dan perlu".
Jadi yang perlu kita tonjolkan, Apa Manfaat Bagi Konsumen (AMBAK). Dipaketi dengan langkah yang jelas terukur (7 Langkah), diberi nama yang menarik dan mudah (SIAP, PERFORM, BUILT, SENADA, AMARTA). Pemda umumnya sudah dihujani produk-produk dengan singkatan berawalan "P", kalau kita tambahi akan mudah dilupakan.
Musashi memberi nama modulnya "5 Lingkaran" dengan tahapan bab: Tanah, Air, Angin, Api, dan Kehampaan. (Risfan Munir, Cengkareng-Medan, Mei '09).
Samurai Sejati 17 - Berfikir Tanpa Terikat
Alkisah seorang guru samurai sambil mengangkat sebuah tongkat sambil bertanya, "Apakah ini?" Sejenak muridnya ragu menjwab. Sang guru melanjutkan, "Jika kau sebut ini tongkat, pikiranmu "terlekat". Jika kau menyebutnya bukan tongkat berarti kamu "mengabaikan". Jadi menurutmu ini apa?"
Ini kata mutiara yang sulit dicerna. Tapi pesannya jelas agar sang samurai tidak terjebak "kotak" pikirannya sendiri, dalam menilai situasi dan lawan.
Sekali memberi "nama" atau predikat pada suatu benda, orang atau situasi, maka pandangan kita sudah kurang obyektif. Karena nama membawa konotasi. Kalau menyebutnya tongkat, maka segera muncul dugaan sebagai alat pemukul, dst. Sementara kalau menyebutnya kayu, bisa menduga itu bahan bangunan, kayu bakar.
Contoh aktual ialah saat SBY mengumumkan nama Boediono sebagai Cawapresnya. Reaksi berbagai kalangan secara sepontan: Kok orang Jawa juga? Agamanya apa? Jangan-jangan penganut neoliberal?
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena mereka merenspons atas dasar "frame" pikiran masing-masing, dan "labeling" atas latar belakang masa lalu sang cawapres. Sebagian besar lupa "fakta obyektif" bahwa Pak Boed pernah jadi Menteri Perencanaan Pembangunan, Menkeu, Gubernur BI, artinya petinggi senior yang tidak aneh-aneh amat.
"Kelekatan pikiran" ini juga menyangkut citra diri kita sendiri, atau pengalaman masa lalu/kini yang kita proyeksikan ke situasi masa depan yang mungkin beda.
Contohnya, ada seorang Bupati teladan, terpilih sebagai Bupati paling inovatif, transparan. Hasil kerjanya jadi good-practice yang dibicarakan dalam berbagai seminar. Karena suksesnya kemudian terpilih menjadi gubernur.
Rupanya jurus suksesnya dia bawa ke tingkat provinsi juga. Di situlah persoalannya. Kewenangan gubernur beda dengan bupati, begitu pula situasi lingkungannya. Lebih runyam lagi, dia bawa manajernya "bedol desa" ke provinsi. Mereka sama-sama membawa paradigma kabupaten ke lingkungaan kerja yang berbeda. Akibatnya, di provinsi kinerja mereka tak seoptimal di kabupaten. Sementara kabupaten yang ditinggalkan mereka kinerjanya juga menurun.
Citra diri (branding?), identifikasi diri penting supaya orang lain mudah mengenali kita, dan kita sendiri punya kemantapan mau jadi apa, mau kemana. Tapi harus hati-hati pula agar tak terjebak olehnya, sehingga salah merespon peluang dan situasi yang ada. Karena sejarah bisa berulang, tapi tak pernah persis sama. (Risfan Munir, Cengkareng-Bekasi, Mei '09)
Senin, 11 Mei 2009
Samurai Sejati 16 - Think Out of The Box
Ini memang didasari latar belakangnya yang otodidak. Berbeda dengan prajurit samurai yang umumnya belajar dari dojo, atau sekolah. Karena miskin, dia belajar samurai sendiri.
Berkelahi dengan cara konvensional, menurut dia berarti cari mati. Lawan akan segera membaca arah gerakannya.
Kemenangannya dalam 60 duels antara usia 13 hingga 30 tahun membuktikan keunggulan strateginya. Dia lebih menekankan pada pengenalan lawan, pengenalan medan pertempuran, dan menyiapkan strategi yang sesuai. Dari pada sibuk menghafal jurus-jurus konvensional. Petarung yang sibuk menghapal jurus sebelum bertarung, menurut dia seperti "berkonsentrasi pada mekarnya bunga, tapi lupa memetik buahnya."
Pelajaran yang dapat ditarik. Meskipun kita berangkat dari ilmu sekolah, teori dan konsep baku, tapi - dalam hidup atau bekerja - perlulah fokus pada tujuan, pada klien. Kata Bob Sadino, kualitas itu tidak ditentukan oleh indikator ilmiah, akademis (semata), tapi justru oleh penerimaan klien.
Betapa sering kita menertawakan klien, audien, karena menurut kita "bodoh", menyimpang dari asumsi kita, persepsi kita yang kaya teori. Tapi jangan lupa, tujuan kita adalah menang atas klien. Merebut hati audiens. Agar mereka membeli atau menyerap ilmu yang kita tawarkan. Agar mereka menjadi lebih baik, berubah. Begitukah? Sekali lagi: "think out of the box", jangan terjebak ilusi atau asumsi sendiri atas situasi yang akan dihadapi. (Risfan Munir, Simpang Lima, Semarang)
Kamis, 07 Mei 2009
Samurai Sejati 15 - Combat Ready
Samurai 15 – Combat Ready Samurai sejati seperti dicontohkan Musashi selalu berlatih, mengasah dan memelihara kemahiran berpedangnya. Seorang samurai muda melakukan latihan hingga enam jam perhari, semakin senior nerangsur mengurangi kadar latihannya. Namun mereka tak pernah berhenti melatih keterampilannya, seklipun dia sudah jadi pejabat, bahkan jadi Shogun (raja/panglima) sekalipun. Ini dilakukan karena "kalah mahir berarti mati." Ini bisa dibandingkan dengan para artis misalnya yang juga mengandalkan kemahiran yang nyata. Contohnya, Madonna, J. Lo, Shakira, Britney Spear (kalau kurang berkenan silahkan cari contoh lain lho, misal Vena Melinda), dibalik ke-glamour-annya mereka adalah professional yang serius, betul-betul berlatih 6-8 jam sehari. Kalau boleh introspeksi, ini beda dengan profesional kerah putih (konsultan misalnya), yang kadang setelah lulus sekolah kurang mau melatih keterampilan utama yang jadi kompetensi mereka, kurang suka membaca, kurang suka mencoba-coba metode baru. Waktu habis oleh pekerjaan kantor yang itu-itu saja, yang templatenya sudah dibuat Menjadi professional pada masa pancaroba seperti saat ini, seorang profesional perlu menyiapkan diri selalu.Hati-hati terhadap kenyamanan tempat kerja yang melelapkan. Seperti Musashi, teknik berpedang yang selama ini dikuasai dilatih-ulang hingga kian mahir. Sementara itu simulasi barbagai situasi juga selalu dicobanya. Tujuannya ialah agar siap untuk situasi "yang tak diharapkan (unexpected situation)." Dengan kata lain, menyiapkan diri selalu dalam kondisi COMBAT READY (siap tempur) menghadapi peluang kerja apapun. (Risfan Munir, Grha Cakra, |
Selasa, 05 Mei 2009
Samurai Sejati 14 - Inovasi atau Mati
Kabar baiknya ternyata inovasi tidk harus lahir dari para jenius atau perusahaan besar. Lahirnya Facebook, Yahoo, Google justru dari anak muda, mahasiswa yang belum tamat kuliahnya.
Musashi pertama kali dikenal sebagai pendekar samurai di usia 13 tahun. Itu diperoleh sebagai hasil self-learning dan selft-motivation. Dia belajar teknik samurai tanpa guru, di selalu bisa memotivasi dirinya untuk terus belajar dan memperbaiki permainan pedangnya, karena sadar tanpa itu dia akan "kalah atau mati".
Kehebatan permainan pedang Musashi yang unik, sulit diduga lawan, terbentuk dari mental, fisik, kecerdasan dan spirit disipin diri yang tak terkalahkan pula. Ini bisa dibandingkan dengan Rudy Hartono, yang pada masanya bisa jadi juara bulu tangkis All England, padahal tidak masuk TC nasional. Dia belajar sendiri dengan disiplin.
Keunggulan perusahaan Jepang kebanyakan juga tercipta dari inovasi-inovasi yang diciptakan oleh karyawan biasa. Mereka diberi peluang untuk mengusulkan "perbaikan" produk atau cara memproduksi yang lebih efisien dan lebih baik. Matsushita Electric pernah naik pamornya karena berhasil menciptakan mesin pembuat roti otimatis yang dinamakan "home bakery". Itu dikembangkan dari ide ibu Tanaka, seorang pekerja biasa.
Semangat "menjadi terbaik" menjadi prinsip organisasi Jepang. Maka tak heran jika teknologi Jepang senantiasa berkembang pesat, sulit ditandingi bangsa lain. Melalui self- motivation, self-learning, disiplin tinggi dan penghargaan pada "ide perbaikan" walaupun dari pegawai biasa - telah merubah citra Jepang dari julukan "maneshita" (peniru) menjadi pemenang. (Risfan Munir, Sheraton Surabaya, Mei 09)
Senin, 04 Mei 2009
Samurai Sejati 13 - KAIZEN
Prinsip tersebut dalam bahasa manajemen mutu ala Jepang disebut KAIZEN, artinya "continuous improvement."
Berbeda dengan konsep ahli ekonomi politik JA Schumpeter yang mengenalkan "constructive destruction", atau membongkar untuk membangun (secara kreatif), pendekatan ala samurai Musashi justru menekankan perbaikan terus-menerus secara berkelanjutan.
Memperbaiki diri (permainan pedang) dilakukan dalam kehidupan Musashi sepanjang hidupnya, tanpa mengingat usia. Menjadi pembelajar seumur hidup, begitu istilah sekarang. Dan, ini membudaya di masyarakat Jepang. Di sekolah, di tempat kerja, di masyarakat.
Kaizen atau hari ini lebih baik dari kemarin, besok lebih baik dari hari ini. Berarti ada upaya pembaruan terus menerus. Pembaruan meliputi pengembangan ide, kreativitas, produk lebih baik, termasuk cara hidup baru.
Masih ingat kita, radio atau tape recorder yang mesti dipanggul itu oleh Sony dirubah jadi walkman. Jam 'per' yang mesti diputar tiap hari diganti tenaga baterei seimut kancing. Semuanya itu membuat negara miskin sumber daya alam itu jadi unggul.
Mereka juga percaya "ide dua orang, lebih baik dari seorang", karena itu brain storming kaizen dipraktikkan. Setiap anggota tim, karyawan, diberi kesempatan urun rembug tentang "perbaikan, pembaruan" proses, desain, sekecil apapun ide mereka. Terbukti hasilnya mentakjubkan, betul-betul mengalahkan penemu awalnya. Ini terjadi pada bidang otomotif, elektronik, optik, dan sebagainya.
Sekali lagi, prinsipnya hanya disiplin melaksanakan KAIZEN, hari ini lebih baik dari kemarin. Maukah kita? (Risfan Munir, Tunjungan Plaza)
Sabtu, 02 Mei 2009
Samurai Sejati 12 -Budaya Malu
Dalam sejarah terjadi perubahan dari kekuasaan ke-shogun-an yang dipimpin oleh para samurai menjadi kekuasaan administratif. Wilayah samurai (han) diganti dengan menjadi wilayah administrasi (ken). Sementara itu para pemimpin samurai diberi kompensasi modal, yang kemudian mereka pakai untuk beralih kepada dunia industri. Para mantan pemimpin samurai itu mendirikan perusahaan-perusahaan dengan nama seperti wilayah (han) mereka dulu, seperti: Mitsui, Mitsubishi, Kanebo, Honda dan lainnya. Dan tradisi tanggung-jawab, kesetiaan yang berdasarkan “budaya malu” diatas berubah menjadi karoshi (mati karena kebanyakan kerja). Mereka malu kalau sampai gagal mengerjakan tanggung-jawabnya.
“Budaya malu” inilah yang layak dipertimbangkan, walau tak harus ber-junshi atau ber-karoshi. Ini berarti tanggung-jawab kepada publik. Malu karena tidak mampu memenuhi harapan publik. Atau harapan dari tempat kerjanya. Mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi. Tradisi luhur samurai sejati ini jelas kebalikan dari tradisi “korupsi”, yang mengorbankan kepentingan publik, demi kepentingan pribadi.(RM)
Samurai Sejati 11 - Menang dari Kepungan Lawan
Mungkin kita segera mengasosiasikan ini dengan pemenang Pemilu yang sedang dikeroyok oleh koalisi-koalisi dadakan (misal aja kan gak usah pro dia).Kalau mengikuti strategi Musashi di atas, maka skenarionya bisa pakai pedang pendek dan panjang.
Pedang pendek ibarat persuasi. Galang terus simpati rakyat (kan pilsung) dengan simpati dan jurus welas asih - yang didholimi dapat simpati dan dipilih.
Kedua, pakai pedang panjang. Giring semua lawan ke satu arah. Biarkan ribut sendiri. Iming-imimg posisi wapres, menteri tentu menggiurkan tokoh-tokoh partai. Dengan kesabaran dan keyakinan pemenang koalisi akan rontok. Karena dasar mereka rebutan jabatan, bukan persamaan visi, misi.
Strategi ofensif untuk melemahkan lawan, satu demi satu, mungkin tak harus dilakukan kalau tanpa itu kemenangan bisa diraih, tapi kalau diperlukan tentu ada jurus-jurus menggembosi lawan yang kebanyakan eks mitra seperguruan.Seperti kisah Toranaga, dengan sabar, long march ke ibukota menjemput ke-soghun-annya, dengan mengulur waktu membiarkan yang bersengketa rontok sendiri. Begitukah skenarionya?
Samurai Sejati 10 - Menggerakkan Bayangan
Dalam abad ini semua berkembang cepat. Apa-apa yang sebelumnya kita anggap akan abadi ternyata bisa lenyap seketika laksana kena tsunami. Perusahaan-perusahaan raksasa multi-nasional yang jadi lambang kejayaan jaman seperi Lehman Bros, General Motor, Ford, General Electric. Juga BUMN yang dinaggap menjamin hidup sampai tua, ternyata bisa pailit atau dijual. Dan, mitos bisa kerja sebagai PNS di supaya dapat pensiun, rupanya sebagian juga hanya mitos.
Tak ada ramalan yang meyakinkan, termasuk ramalan cuaca.
Sementara itu informasi datang tiap detik datang silih berganti, lewat koran, tivi, internet, sms, dst., tapi semua itu tidak memberi petunjuk bagi pengambilan keputusan karena trendnya tak punya pola yang jelas. Tiap saat ekonom meramal, tapi sepertinya hanya menjelaskan penyimpangan analisis sebelumnya. Apalagi ahli politik, lebih banyak mengritik penyimpangan prediksinya sendiri sebelumnya, dari pada memberi petunjuk langkah yang mesti diambil. Dalam situasi seperti ini, akhirnya kembali ke diri masing-masing. Mau apa, mau pilih yang mana, melangkah kemana.
Dalam buku barunya, MARKETING IN CRISIS, Rhenald Kasali mengutip Soros yang melihat bahwa manusia selalu membaca data untuk dua kemungkinan: "untuk memahami", dan untuk berpartisipasi sekaligus "memanipulasinya."Saat sebuah data dipaparkan media dan diinterpretasikan , mausia dengan cepat mengambil dua langkah bersamaan: memahami sekaligus memanipulasinya. Ini pilihan kita masing-masing. Berita yang sama bisa kita anggap menjengkelkan, atau kelucuan atas kebodohan, atau kita "pelintir" untuk menguatkan argumen kita. Tapi yang penting : jangan jangan ikut terkecoh jadi krban. Karena ramalan atas akibat berita itu nyatanya beda terus dari yang kita pikirkan.Segalanya cepat berubah, info yang kita baca beberapa menit yang lalu segera usang karena manusia telah memanipulasinya.
Pelajaran yang bisa ditarik: (a) segala sesuatu menjadi paradoks; (b) adanya tuntutan untuk merelaksasi konstrain; (c ) tuntutan adanya fleksibilitas; (d) tuntutan adanya kemampuan beradaptasi dengan keadaan yang berubah.Kembali ke pesan Musashi, "kalau sulit memahami situasi, pikiran lawan yang banyak. Buatlah serangan bayangan semu, agar segara tahu reaksi mereka, lalu buat serangan sesungguhnya."(Risfan Munir, Melia Jogja, 2009)
Samurai Sejati 9 - Musashi dan Bob Sadino
Kalau dianalogkan dengan tukang kebun, (dalam contoh Mas Soetopo) Bob Sadino. Walaupun beliau selalu mengatakan ilmunya jurus “goblog”, tapi itu mungkin falsafah kiat “berfikir sederhana berbasis realitas”, bukan konsep akademis. Tapi saya pernah bertemu beliau, dan dari deskripsinya kita tahu bahwa seperti Musashi, beliau sangat tahu “selera konsumen” yang kebanyakan ekspatriat, atau kelas atas. Dia sangat tahu aneka jenis “daging” bagian demi bagian, negara asal dan ciri-cirinya. Seni menyimpan, yang di-freeze, diasap, dst. Dia juga tahu daging bagian mana untuk masakan apa saja. Dia juga tahu cara menyajikan jenis apa, untuk siapa, penyajiannya bagaimana. Itu lah ”Goblok” nya Bob Sadino. Saya juga kenal orang dengan kemahiran Bob ini tapi untuk ”daging kambing”, sate, gule, dsb. di suatu daerah lain ......
Pesannya jelas, dari ide sederhana, profesi biasa kalau dilakukan secara ”luar biasa” akan menciptakan hasil yang sangat luar biasa. Ingat pesan klip sebelumnya: apapun bidang usaha, keahlian, kalau dilakukan minimal 10 ribu jam, akan jadi kemahiran tiada dua. Pada tingkat mahir itu "pikiran" sudah tidak perlu digunakan secara "sadar", sudah refleks dan spontan. Mungkin itu yang disebut Bob Sadiono sebagai cara "goblog", atau kata Musashi berpedang dengan "kehampaan" pikiran sehingga sangat cepat. [Risfan Munir, Jakarta, April 2009]
Samurai Sejati 8a - Fasipulatif atau Fasilitraining?
Pak Topo, tergantung di level mana kita bicara: filosofis atau praktis?
Secara filosofis, norma keterbukaan fasilitator itu yang diperkenalkan dan dijunjung, baik di dunia governance ataupun manajemen.Lalu pada tataran praktis: Facilpulatif (?) - ini seperti "facilitraining". Saya biasanya menjelaskannya sebagai spektrum atau pelangi. Realita ada di antara "facilitasi penuh s/d memberi petunjuk". Tergantung siapa audience, materi yang mau disampaikan, waktu yang tersedia. Mengajarkan program Excel, accounting, cara instruksional mungkin lebih efisien, efektif. Tapi ngajar proses pengambilan keputusan, lebih baik partisipatif.
Andragogi (pendidikan bagi orang dewasa) berdasar asumsi audiens sudah punya bekal dan dewasa. Tapi dalam kasus Excel mereka mungkin memang dari "nol". Juga perilaku mereka mungkin (kata Gus Dur) seperti "taman kanak-kanak."Dengan demokrasi ala Pemilu, asumsinya rakyat milih caleg terbaik di antara mereka. Tapi nyatanya masyarakat masih feodal, malah milih atribut lama (keturunan raja/pejabat, raden, tengku, andi dst, jendral, kolonel, juga artis), kalau rakyat biasa, tetangganya nyalon malah dihina-hina.
Dalam dunia manajemen. Saya pikir secara akademis selalu berkembang, dari management by objective (MBO) hingga yang berkembang saat ini, management by process menerobos sekat-sekat batas fungsional). Tapi di dunia praktis, semua konsep itu masih hidup. Contohnya PP41, dinas-dinas yang sudah digabung sesuai prose, dipreteli, dipecah-pecah, disekat-sekat. Bisa dibilang ini kemunduran, menjadi kurang efisien-efektif bagi yang sudah melakukan penyederhanaan jumlah dinas. Jadi nambah dinas lagi. Semua dikerjakan tanpa alasan jelas, kecuali perintah dari PP41. Agak ironis sesungguhnya di era otonomi daerah ini.Dalam dunia praktek, semua jurus, lama dan baru dapat digunakan, yang penting tujuannya "menang".Secara tak sengaja menggunakan metafora samurai (Musashi) menarik buat saya, karena sang pendekar menulis sendiri "guideline" samurainya, yaitu (terjemahan Englishnya) "The Books of Five Rings" sesuai isinya 5 bab. (mungkin dia pakai pancasila, sedang SIAP pakai prinsip obat sakit kepala Bintang Toejoeh).h Isinya uraian prinsip dan instruksi latihan. Tapi pesan akhir bab-nya selalu: praktik, praktik, praktik.
Terakhir, betul Pak Topo, di dunia governance/ public yang kita geluti, persaingan tidak dimunculkan, dan dianggap tabu. Paling ada lomba, award, seperti Adipura, Kalpataru, pelayanan prima, dst. Walau antar individu, unit, nyatanya ada "perebutan" besar anggaran. Apalagi pimpinan puncak (bupati/walikota) kan dipilih rakyat, ya mesti bersaing (citra).Tapi di dunia bisnis, persaingan adalah natural. Bukan karena serakah. Tapi kalau nggak waspada, merk lain akan merebut pasar kita. Pertemuan dunia publik (pemda) dengan dunia bisnis ini krusial. Sementara UMKM dituntut bersaing dengan produk China, dinas pembina industi kecil bukannya membantu tapi menertibkan, bikin ijin-ijin sebagai obyek PAD, dengan alasan "membina" iklim usaha dan daya saing.
Bagaimana cara meningkatkan produktivitas? Jawabannya: apel pagi, kejuaraan voli antar unit, plus rapat-rapat panitianya. Supaya sehat dan sportif. Sementara UMKM harus nunggu ijinnya keluar. Apalagi usaha besar, yang katanya serakah itu, "kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah." Wassalam. [Risfan Munir, Jakarta, April 2009]
Samurai Sejati 8 - MULTI-TASKING
Ini soal penggunaan "pikiran" saat berkelahi menghadapi banyak lawan. Ini merupakan penjelasan Musashi saat ditanya, "Apa rahasia mengalahkan musuh yang berjumlah banyak?"
Kalimat tersebut bisa mengundang debat. Bukankah untuk bisa mengatasi sesuatu dengan baik seharusnya berkonsentrasi?Dalam ilustrasi Musashi, saat menghadapi 10, dia harus bergerak cepat, berfikir cepat. Kalau dia berhenti, atau terpaku pada satu serangan musuh, maka ada 9 serangan mematikan yang tak dia perhatikan. Kena dia.Karena itu, pikiran harus gerak terus, begitu badan dan pedang, tanpa terpaku pada salah satu serangan lawan. Pikiran dan badan bergerak terus, sambil dengan cepat mengamati dan mengantisi serangan lawan dan peluang menyerang. Tanpa terpaku pada salah satunya. "Menempatkan pikiran di satu tempat disebut jatuh ke dalam keberpihakan. ... Upaya untuk tidak menghentikan pikiran hanya di satu tempat - itulah yang disebut disiplin."
Secara praktis, ini bisa dianggap pesan kepada Fasilitator loka karya agar betul-betul murni sebagai fasilitator, tanpa terpaku, bias pada pendapatnya sendiri.Tapi di sisi lain bisa diartikan sebagai pesan saat kita dituntut bekerja "multi-tasking" (banyak fungsi sekaligus) ya jadi manajer ya spesialist, ya berkarier ya ngurus organisasi, juga sebagai orang tua.Juga bisa diperluas sebagai metode berfikir, agar tidak terjebak satu skenario, begitu meleset langsung collaps. Seperti caleg gagal.Pada saat ini prediksi ekonomi, politik sepertinya sangat sulit dilakukan, atau dipercaya penuh. Karena pesat dan banyaknya perubahan faktor eksternal di luar kemampuan manusia n komputernya.Seorang teman saya yang mereview buku "Black Swan" (Hartono) bercerita bahwa di buku itu banyak dikisahkan apa yang tak terpikirkan, dulu dianggap mustahil ternyata terjadi. Seperti munculnya angsa hitam.
Dalam situasi seperti ini terpaku pada satu pikiran, satu lawan, satu peluang akan menghadapi masalah besar.(Risfan Munir, Deli Serdang, April 2009)
Samurai Sejati 7 - Praktik, praktik, praktik
Malcolm Goldwell dalam bukunya "OULINERS" (yang sedang populer di toko buku) mengatakan, kalau Anda melatih satu keterampilan selama 10 ribu jam, maka Anda akan jadi Master dalam hal itu. Dia mencontohkan the Beatles, untuk menjadi top dunia, bermain musik di bar, café lokal sebanyak-banyaknya, dengan target "mahir". Tentu kita familier dengan istilah "jam terbang" untuk pilot. Dengan 10 ribu jam terbang pasti sudah bisa menerbangkan pesawat badan lebar.Episode duel Musashi vs Kojiro (lihat posting Pak Kresno) menambahkan, selain unsur KETEKUNAN PRAKTIK, juga kemampuan MENGENDALIKAN EGO sendiri. Kejeniusan Kojiro bisa dikalahkan oleh ketekunan Musashi, yang intinya kemampuan "mengendalikan diri", kesabaran dalam kurun waktu.Ini mengingatkan pada cerita anak-anak "balapan Kura-kura vs Kelinci". Yang satu lambat tapi persistence, yang kedua cepat tapi jumawa. Seperti kita duga dimenangkan si Kura-kura, karena Kelinci terlena dan tidur lelap.
Spirit atau filosofi KETEKUNAN itu juga yang mendasari konsep Continuous Process Improvement (CPI) sebagai salah satu kaki dari Total Quality Management (TQM) yang jadi fondasi kejayaan manufaktur Jepang yang mengalahkan barat.Pesan-pesan tersebut cukup jelas. Menjadi pelajaran bagi saya sendiri. Mudah-mudahan begitu pula untuk Anda. Pertama, perbanyak latihan dan praktik. Ingat akronim LUPA (latih, ulang, praktik, asosiasikan diri sebagai yang mahir). Kedua, sanggup mengalahkan EGO sendiri, untuk mengalahkan pesaing. Begicu? (Risfan Munir, Medan, April 209)
Samurai Sejati 6 - Lima S
Ketekunan, ketelitian dan passion yang ditunjukan dalam disiplin do-jo Musashi nampaknya yang mendasari praktek manajemen Jepang.Berbeda dengan pendekatan yang umum disini yang sering dimulai dari pemikiran makro strategis, praktek manajemen Jepang nampaknya justru dimulai dari tindakan praktis operasional.Salah satu ciri pendekatan dari yang oprasional ini ialah konsep 5-S, singkatan dari: Seiri (Ringkas), Seiton (Rapi), Seiso (Resik), Seiketsu (Rawat), Shitsuke (Rajin). Tidak usah melihat perusahaan besar, pada UKM lokal yang dibina perusahaan Jepang pasti menerapkan 5-S tersebut. Cirinya, bersih, semua benda tertata rapi, ada flow pergerakan yang jelas (sering digambar). Sungguh beda dengan bengkel kebanyakan yang dipenuhi barang bertumpuk yang tak jelas gunanya.
Penerapan 5-S dimulai dengan Ringkas, Rapi ditandai dengan seleksi barang-barang dengan klasifikasi berdasarkan frekuensi pemakaiannya. Kalau dipakai tiap hari ya ditempatkan didekat posisi yang kerja. Kalau seminggu sekali, sebulan sekali lebih jauh, dst. Kalau penggunaan terakhir 6 bulan yang lalu, mungkinse baiknya ditaruh digudang. Tapi kalau suatu barang sudah setahun ini tidak dipakai, mungkin perlu dipertimbangkan untuk dibuang saja. Kebersihan dijaga selalu. Dievaluasi periodik, dibahas dalam temu kelompok kualitas (gugus kendali mutu).
Kedisplinan yang dimulai dari tindakan-tindakan praktis seperti itulah yang membentuk budaya kualitas, menjunjung tinggi mutu dan kesempurnaan (perfection). Dari situ pula lahir perangkat continuous process improvement sebagai bagian dari TQM.Mungkin ini bisa jadi refleksi bagi masyarakat kita yang terlalu gemar dengan debat visi, misi hingga kata per kata. Perfection di kata-kata, bukan action. (Risfan Munir, Medan-Sergei, April 2009)
Samurai Sejati 5 - Controlling the Enemy's Mind
Mungkin ekspresi paling jernih dari seni pedang Musashi adalah pesannya agar seorang samurai sebaiknya selalu tenang, siaga, tetapi memainkan watak memancing lawan untuk gusar, terusik, bergerak dan melakukan kesalahan. Pada kesempatan lain dia mengingatkan tugas utama samurai adalah mengalahkan lawan, bukan memamerkan kepandaian akrobat berpedang.
Memang kalau kita lihat (dalam film-film), pertarungan samurai umumnya hemat gerakan, lebih banyak bermain watak, bermain tatap mata. Daripada silat China yang justru banyak edegan acrobat salto, ginkang dan hangar-bingar ala “pendekar mabok.”
Kalau diambil hikmahnya ini berlaku dua arah. Pertama, janganlah kita mudah terkecoh oleh bujukan, rayuan (gombal), maupun provokasi, agar kita “panas, gusar, tergoda” untuk mengambil langkah (keputusan, beli, menyetujui) berdasar emosi. Menyadari bahwa iklan adalah bujukan, bukan kebutuhan sesungguhnya. Provikasi seseorang atau audiens adalah godaan, coba-coba atau provokasi. Dimana kita harus selalu sadar, tenang, tak terpancing, dan memposisikan diri “di atas angin.”Pada sisi lain, ada baiknya kita selalu melatih keterampilan dalam ”persuasi”, menggoda audiens, lawan bicara untuk ”menyetujui” apa yang kita tawarkan. Apakah itu materi pelatihan, proposal, usulan kebijakan yang kita perlu dukungan. Supaya audiens atau lawan bicara tergoda, terbujuk, tersadar akan kebutuhannya/kepentingannya.Ada beberapa tips dalam persuasi, termasuk yang dipraktekkan orang selama kampanye. Ingatkan audiens akan “harapan/kebutuhan” atau apa yang “ditakuti/dikuatirkannya.”
Seperti incumbent yang banyak bicara tentang harapan rakyat yang mulai terpenuhi. Partai baru bicara janji. Sedang oposan bicara tentang hal-hal “mengkhawatirkan” dari incumbent. Jurus lain, biasanya orang suka dengan orang yang “persamaan” (selera, hobi, asal daerah, dst).
Sekali lagi, sebisanya bersikap tenang, kalau toh tak ingin membujuk, setidaknya janganlah mudah terbujuk, terprovokasi, “teliti sebelum membeli.” (Risfan Munir, risfano@gmail.com)
Samurai Sejati 4- Persepsi
Dari pesan sang Samurai saya berkaca, betapa seringnya saya membaca, mendengar, mengamati banyak hal dengan "frame" saya sendiri. Lalu dengan cepat prejudice, menghakimi. Akibatnya tidak banyak belajar dari orang lain. Dan, sering salah menilai dan mengambil keputusan.Sebagai fasilitator, trainer, metode partisipatif juga menghendaki kita untuk tidak "datang membawa jawaban", tapi betul-betul terbuka terhadap aspirasi audiens.Para manajer masa kini juga diajar untuk lebih banyak mendengar sebelum bicara. Kata Covey,"first seek to understand, then to be understood." Jernihkan persepsi, memahami dulu aspirasi audiens, baru minta dimengerti. (Risfan Munir)
Samurai Sejati 3 - Serba Bisa (multi knowledge)
Walaupun seringkali manfaatkan tidak segera dialami. Namun kenyataannya, identitas Musashi tetaplah seorang samurai. Dia bisa melakukan pekerjaan seni tanpa harus jadi seniman, terampil dengan kerajinan kayu tanpa menjadi tukang kayu. Identitasnya dirinya tetap sebagai samurai.Pelajaran yang bisa ditarik untuk masa kini adalah pentingnya penguasaan berbagai keterampilan, penggunaan alat, perangkat lunak, termasuk juga perangkat-perangkat manajemen.Ssederhananya, sulit dibayangkan pada masa kini seorang bekerja di kantor tanpa menguasai software (minimal Words, Excel, Powerpoint, mengirim e-mail), tanpa bisa nyetir mobil, tidak bisa mengirim fax, menggunakan mesin fotocopy.
Meningkat lagi adalah keterampilan menggunakan perangkat “manajemen” seperti teknik problem solving, decision making, statistik sederhana. Termasuk perangkat teknik komunikasi dan persuasi, melakukan lobi, manajemen waktu, manajemen rapat, manajemen staf yang efektif. Maupun perangkat komunikasi tulisan seperti menulis laporan dan naskah presentasi yang efektif. Seorang insinyur tetap insinyur, sutradara atau produser tetap pada profesinya, namun aneka “keterampilan hidup” (life-skill) pelengkap tetap harus dikuasai. Kalau kita amati, umumnya seorang sarjana hanya menggunakan “ilmu sekolah”nya secara murni maksimum lima tahun, setelah itu keterampilan hidup itulah yang memungkinnya mendaki tangga karier. Oleh karenanya tiap orang memerlukan keterampilan belajar (learning skill) sepanjang hidup, atau menjadi manusia pembelajar. Mungkin tak harus jadi Mac Giver, paling tidak selalu berbekal pisau-lipat Victorinox. (Risfan Munir, Jakarta, 2009))
Samurai Sejati 2 - Timing Mengikuti Ritme
(1) Timing - Timing adalah memilih saat yang tepat untuk bergerak menyerang, berdasarkan pemahaman atas ritme lawan. Bergerak lambat lalu menyerang secepat kilat di saat yang tepat merupakan strategi efektif menohok lawan. Dengan memperhatikan dengan seksama getaran pedang dan ritme nafas lawan, kamu bisa menebas saat lawan menarik nafas. Karena saat dia menarik nafas, mustahil untuk menyerang. Dalam dunia komunikasi masa kini, ini disebut dengan RAPPORT, yaitu memahami ritme, intonasi, gaya, pilihan kata lawan bicara, sehingga kita betul-betul memahami apa yang tersurat dan tersirat dari lawan bicara kita.Dengan strategi persuasi “pacing, pacing, pacing, leading” (ikuti-ikuti-ikuti, lalu nyatakan maksud), ini terbukti lebih efektif, daripada ketemu langsung “nembak” atau slonong minta seseorang membeli. Dalam bahasa sederhana, buat lawan bicara, audience berkata “ya ya ya (minimal 3x), sebelum tawaran kita ajukan. Untuk aktivitas investasi pasar modal tentu ini hal biasa. Dalam management strategik, masuk ke suatu pasar, atau bisnis baru, memerlukan timing, penetapan waktu yang didasari observasi atas perilaku pasar atau bisnis tersebut. (Risfan Munir).
Jumat, 01 Mei 2009
Samurai Sejati (1) The Book of Five Rings
Oleh karena itu akan bermanfaat sekali untuk mempelajari spirit samurai itu. Dan, salah satu sumber dan simbol etos samurai adalah Miyamoto Musashi. Dialah pendekar samurai tiada tara yang menulis buku The Book of Five Rings (Go Rin No Sho). Ini adalah hasil renungan atau kontemplasinya setelah menjadi samurai tak terkalahkan.
Buku ini oleh Musashi dibagi dalam 5 Bab, yang disebut: Kitab Bumi, Kitab Bumi, Kitab Air, Kitab Api, Kitab Angin, Kitab Kehampaan.
Musashi memberikan penjelasan singkat pemilihan judul itu: BUMI, simbol pandangan dasarnya tentang seni bela diri; AIR, terkait gayanya yang dilandasi sifat mengalir dan kejernihan; API, atau peperangan, dikaitkan dengan energi dan kemampuannya berubah; ANGIN, terkait pengamatan atau kritiknya atas atas macam-macam gaya dari perguruan lain; KEHAMPAAN, ini bagian yang sangat filosofis, bahwa ujung kesempurnaan adalah kehampaan jua.
Meski media buku ini adalah panduan teknik samurai, tapi intinya adalah tentang "permainan pikiran" juga. Bagi Musashi, seni bela diri adalah sebuah pendekatan (psikologi) pada Jalan (disiplin, destiny).
Ada beberapa prinsip yang menjadi benang merah kelima Bab, yaitu: Pentingnya timing, yang mesti selalu diserasikan dengan ritme lawan dan situasinya. Pengetahuan yang menyeluruh atas diri sendiri dan lawan, mirip analisis SWOT. Pentingnya permainnan "persepsi", agar betul-betul bertindak berdasar fakta, bukan persepsi, dugaan, agar tak mudah diprovokasi, dan dikelabuhi. Berikutnya, pentingnya mengendalikan "pikiran lawan", dengan tipuan, pengecohan, gertak, provokasi dan taktik lainnya. Akhirnya ialah pentingnya praktek, praktek dan praktek, kalau mau mahir. Ukuran keberhasilan belajar bukan lulus ujian oleh guru, tetapi keberhasilan menaklukkan lawan.
Membaca buku ini tentu tidak untuk belajar samurai, karena kalau mau belajar seni bela diri apapun ya lebih praktis ikut kursus. Sekali lagi untuk menggali spirit samurai yang katanya mampu memompakan etos maju bangsa Jepang.
Pada Kitab Bumi, Musashi menganalogikan belajar samurai seperti kerja tukang kayu yang harus menguasai aneka alat (gergaji, palu, penyerut, dst), menguasai banyak teknik (memotong, menyambung, meluruskan), serta memilih kayu yang tepat untuk pilar, palang, kusen, pintu, dst. Di sampir mahir secara pribadi juga mahir memimpin pasukan dalam pertempuran. Ini juga seperti tukang kayu yang harus mampu memilih tukang, mengorganisir dan disiplin mengikuti blue-print.
Pada Kitab Air dia meggaris-bawahi pentingnya mengikuti watak air yang "jernih dan fleksibel." Jernih menilai lawan, tak tertipu oleh persepsinya sendiri. Dan, fleksibel atau lentur. "Tanaman yang hidup fleksibel, tanaman kaku adalah tanaman mati."
Kitab Api, membahas aspek taktik duel dan strategi pertempuran. Di antaranya ada dua strategi yang menarik bagi saya. Pertama, taktik meminjam tenaga lawan. Seorang samurai tua bisa menghadapi lawan yang muda, dengan taktik gerak tipuan untuk membuat lawan bertindak sia-sia, sibuk kelelahan. Kedua, strategi "menyeberang sungai", saat kita menjalankan rencana, kadang tak terhindarkan harus menentang arus desar. Pada titik itu tak ada pilihan kecuali kerja keras mendayung untuk sampai ke seberang.
Kitab Angin, dalam kitab ini Musashi banyak membandingkan do-jo (perguruan)nya dengan do-jo lain yang dia kritik sebagai mengembangkan seni akrobat, kembangan, daripada seni pedang sesungguhnya yang tujuannya semata mengalahkan lawan.
Musashi juga mengajarkan agar taktik dan serangan yang dilakukan "tidak terbaca". Karena sering melakukan serangan "di luar pakem",atau yang konvensional" tujuannya agar lawan tak bisa menebak, atau bisa diprovokasi. Contohnya, saat duel dengan musuh bebuyutannya Sasaki Kojiro, di perahu menuju pantai tempat duel, dia buat pedang kayu dari dayung cadanga. Datangnya pun terlambat , ini pantangan bagi disiplin samurai. Akibatnya Kojiro heran dan tersinggung emosional. Disitu dia terpecah pikirannya dan Musashi pegang kendali dan menang.
Kitab Kehampaan, ini bab paling tipis. Sesuai dengan judulnya, isinya sangat filosofis. Mengingatkan kita untuk melihat "fakta sesungguhnya", atau hakikat. Karena kita umumnya terbiasa melihat "label" daripada "realita obyektifnya". Kalau disebut kata "laut", seketika terbayang "luas dan biru."
Dalam duel, dalam pengambilan keputusan, subyektivitas, persepsi dini, juga prejudice, stereotyping, bisa mengecoh diri sendiri. Apalagi kalau lawan tahu pikiran, bias dan preferensi kita, mereka bisa sengaja mengecoh kita. Maka Musashi menyarankan "kosongkan pikiran", hadapi lawan (realita) apa adanya, bebaskan dari asumsi, praduga. Pahami realita apa adanya.
Ini sulit, tapi alangkah indahnya kalau kita bisa selalu berfikiran "jernih", tak dikacaukan, dipusingkan dan dibikin rancu oleh persepsi dan preferensi, judgement tertentu, yang seringkali tanpa fakta obyektif.
Apalagi di era informasi ini, tiap hari kita dicekoki oleh berita tivi, koran, gosip yang lebih banyak "opini"nya dari pada faktanya.
"Bersihkan pikiran dari bias dan ego, bebaskan pandangan dari mode, tekanan teman, pra-konsep, maka Anda akan melihat (fakta atau) kebenaran sejati."
Membaca Book of Five Rings (Go Rin No Sho) ini saya merasa bisa belajar dari Bab terakhir, yang mengajari "kehampaan" lalu back-to-basic ke Kitab Bumi. Atau mulai dari depan, dari dasar ke yang lanjut.
Meskipun ini kitab kuno, tapi ternyata mengikuti urutan sistematis sebagaimana kita menyusun modul. Dengan urutan OPAKK - orientasi, pengembangan materi, aplikasi, konfirmasi, dan konsolidasi.
(Risfan Munir, Jogja-Jakarta, April 2009)
Risfan Munir, peminat spirit samurai untuk meningkatkan etos kerja. Bekerja sebagai konsultan manajemen dan perencanaan kota/daerah. Penulis buku "Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif". Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB). Blog http://ecoplano.blogspot.com dan email: risfano@gmail.com.